Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sesat Pikir Pendidikan Sex

26 Februari 2017   14:01 Diperbarui: 26 Februari 2017   14:12 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sedari awal saya tidak setuju adanya pendidikan  sex. Apalagi jika hal tersebut dilakukan di tingkat SD. Jika ada pesan dan niat baik dari penggagas  hal tersebut, sebaiknya masuk dalam kurikulum pembelajaran IPA tentang tubuh manusia, atau pelajaran biologi tentang sistem reproduksi. Sex bukanlah hal yang harus dipelajari, sex bukan alat kelamin atau kegiatan reproduksi, karenanya kegiatan tersebut tidak dapat diajarkan untuk mereka yang belum saatnya melakukan kegiatan reproduksi.

Kampanye pendidikan sex yang marak seakan-akan mengabaikan keragaman  berpikir dari para pelaku dalam pendidikan. Kasus teraktual buku yang berjudul “ Aku berani tidur sendiri”. Mencerminkan gagal paham tentang proporsi penyebaran informasi. Dengan dalih pendidikan sex, penulis mengabaikan norma dan perkembangan  psikologis anak didik. Jika tidak hati-hati, pendidikan sex telah dijadikan legitimasi seseorang untuk menjalankan kampanye tindakan sex  bebas yang aman, sex yang bertanggungjawab. Padahal, moral bangsa Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh ajaran reliji, yaitu kegiatan sex bukan dalam hubungan perniakahan dilarang.

Pendidikan  sex juga menjadi bias, karena ia tidak lagi menyasar kebutuhan  peserta didik. Anak SD hanya perlu tahu perbedaan laki-laki dan perempuan. Mulai dari alat kelamin, kumis, kulit, payudara dan fisik lain yang membedakan. Sehingga pelajaran tentang masturbasi di buku tersebut sudah keluar dari sasaran pembelajaran. SMP peserta belajar perlu tahu tentang alat reproduksi. Karenanya ia belajar tentang haid, belajar tentang prostat, belajar tentang sistem. Jadi tidak perlu belajar sex. Hal yang sama dengan SMU. Mereka juga tidak perlu pendidikan sex, karena sudah dicover dalam buku biologi, khususnya sistem reproduksi.

Gagal Paham Pendidikan

Pendidikan sex tidak perlu dilakukan, bukan hanya sebatas aspek sosiologis, namun juga dalam aspek paedagogis. Dalam paedagogis peserta belajar tidak diarahkan untuk melakukan percobaan langsung. Karenanya, di sekolah  ada laboratorium. Artinya, kehidupan nyata disimulasi dalam sebuah ruang (bukan sebenarnya). Sex bukanlah informasi pengetahuan, namun sex adalah aktifitas. Informasi dan pengetahuan tentang sex ditujukan untuk melaksanakan, bukan untuk mengetahui, kecuali bagi keilmuan profesi seperti dokter atau bidan. Karenanya, peserta belajar cukup belajar tentang sistem reproduksi yang masuk dalam bidang biologi atau ilmu pengetahuan alam di level SD.

Aliran pragmatisme menjelaskan bahwa pendidikan harus memberikan manfaat seketika, artinya sekolah mengajarkan sesuatu yang dimanfaatkan saat ini, bukan  untuk diketahui dan diamalkan suatu hari nanti. Pendidikan paedagogis bukanlah untuk menyiapkan  dirinya dalam kehidupan kelak, tetapi untuk membekalinya dalam kehidupan saat ini. Karenanya argumentasi bahwa pendidikan sex akan berguna untuk hidupnya pada saat sudah menikah keliru, karena umur siswa belum dapat memilah mana pengetahuan untuk mendatang dan mana yang sekarang.

Stakeholder Pendidikan Belum Siap

Harus diakui, pendidikan Indonesia belum mampu membuat standarisasi untuk seluruh pelaku yang terlibat. Penulis buku-buku pendidikan tidak diharuskan berstandar pendidikan. Akibatnya, buku-buku pelajaran yang ditulis seringkali dirumuskan dalam bingkai disiplin ilmu tertentu. Celakanya, sensitifitas keilmuan tentang tumbuh kembang anak tidak dikuasasi. Akibatnya, terjadilah buku-buku untuk anak didik yang desain dan isinya pengantar disiplin ilmu. Buku ekonomi SMU adalah pengantar ilmu ekonomi perguruan tinggi, termasuk buku tentang sex. Saya khawatir keilmuan psikologi dan sosiologi begitu mempengaruhi, tanpa mempertimbangkan aspek paedagogis.

Ketidaksiapan berikutnya adalah keragaman dalam memahami pendidikan sex. Karena pendidikan sex bukanlah ranah keilmuan semata, melainkan juga ranah budaya dan ranah norma. Sehingga, pengembangan guru terhadap pembelajaran ini akan sangat bias. Apakah kita siap untuk mendiskusikan soal sex bebas, sex dengan kondom dan bintang porno sex.

Hal ini belum lagi dengan aspek lingkungan yang begitu mudahnya bocor. Internet dan situs-situs porno memberikan pengaruh tentang pemahaman sex begitu intensif, sehingga hal tersebut akan menjadi rujukan, jauh lebih dalam dengan pendidikan sex yang ingin dibelajarkan. Akibatnya, pesan-pesan bias dalam situs tersebut terlegitimasi oleh eksistensi pendidikan sex.

Kembalikanlah pendidikan sex kepada publik, kepada alim ulama, kepada orang tua. Biarkanlah sekolah hanya mengurusi pendidikan ilmu pengetahuan alam tentang jenis kelamin, ilmu biologi tentang alat kelamin, ilmu reproduksi tentang sistem reproduksi. Sex telah memiliki makna yang kelewat luas. Untuk pak polisi, segera selidiki kasus buku seperti itu, harusnya ada unsur kriminalnya. Pak Polisi harus adil tentang dampak perbuatan pelaku, jangan sampai dengan dalil pendidikan sex anak-anak kita menjadi korban.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun