Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menempatkan Rasionalitas

3 Februari 2017   10:17 Diperbarui: 3 Februari 2017   10:28 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bacaan hasil survei pilkada kandidat Gubernur DKI 2017-2022 menggugah nalar saya. Dalam penjelasannya, ada sekolompok masyarakat rasional cenderung memilih calon A, dan yang tidak rasional memilih calon B. Hasil survey dianggap sebagai ukuran mutlak yang sahih dan ilmiah. Meskipun dilakukan dalam sampel yang sangat terbatas. Meskipun dilakukan oleh pihak yang diragukan kredibilitasnya. Analisis personal manusia, meskipun dilakukan oleh orang yang kompeten dan adil dianggap kalah kualitas dibandingkan survey yang menyajikan angka-angka.

Saat ini, apapaun menjadi logis kalau disampaikan dalam ukuran angka. Anehnya, itu terjaid di negeri tercinta kita ini. Jika itu terjadi di barat, masih dianggap wajar. Trauma atas penyalahgunaan wewenang dari oknum pendeta katolik yang begitu masif membuat masyarakat saat itu lebih mengedepankan pembukitan melalui fakta yang terukur. Pandangan orang-orang  seperti Newton, Galileo, Covernicus yang dipatahkan hanya dari keyakinan iman, dogma buta oknum gereja membuat kepercayaan masyarakat terhadap pandangan personal hilang. Akibatnya teropong Galileo lebih dipercaya dibandingkan kutbah, rumus energi lebih diterima dibandingkan dengan  rumusan teologi oknum pendeta.

Rasionalitas Bukan Berfikir Logis

Begitu banyak orang yang menganggap rasionalitas merupakan syarat mutlak berfikri logis. Bahkan kedua istilah ini sering dicampuradukkan. Rasionalitas adalah berfikir logis. Padahal rasionalitas merupakan cara pandang bahwa kebenaran dianggap sahih, jika ia dapat ditentukan dalam ukuran-ukuran tertentu. Sedangkan logis adalah pemikiran bahwa kebenaran harus memiliki dasar pemikiran yang  dapat diterima akal, bukan  bersandarkan pada sesuatu yang diluar nalar manusia.  

Berfikir logis tidak harus rasional. Karena tidak semua hal dapat ditentukan alat ukurnya. Saat seorang ibu yang akan melahirkan menerima saran dokter untuk melakukan operasi cesar. Keputusannya tersebut belum tentu rasional tetapi logis. Mengapa tidak rasional, karena pasien belum tentu menggunakan ukuran-ukuran angka (rasio) seperti persentase kemungkinan selamat. Ia juga tidak menyinggung soal standar ukuran kedokteran mengapa ia harus cesar. Namun ia berfikir logis semata, bahwa dokter memiliki kompetensi, sehingga ia percaya dan mau mengikuti.

Jebakan Rasionalitas

Saya masih ingat dengan komedi satir Nashrudin mencari barangnya yang hilang. Ia kehilangan cincin di dalam rumahnya yang gelap gulita. Anehnya, ia justru mencari cincinnya di halaman rumah, bukan di dalam rumahnya. Alasan yang diungkapkan adalah tidak mungkin mencari cincin di dalam kegelapan, karenanya ia mencari di tempat yang terang, yaitu  luar rumah.

Ada banyak diantara kita yang mengagungkan  rasionalitas layaknya cahaya seperti di cerita Nashrudin. Karena kita tidak mampu menerima cahaya dalam gelap yang artinya kita tidak mampu menerima logika selain ukuran angka-angka, maka kita memaksakan agar segala sesuatu harus berbentuk angka.

Ketidakmampuan kita pada dasarnya wujud kemalasan atau wujud ngasal. Nashrudin masih bisa mengambil api untuk menerangi rumahnya yang gelap agar dapat menemukan cincinnya. Nashrudin sadar ia tidak akan menemukan cincinnya di luar rumah, karena dia sedang tidak berusaha menemukan cincin, ia sedang berusaha melakukan pekerjaan mencari cincin.

Kita sadar bahwa masalah kehidupan ini adalah keadilan dan  kebahagiaan, kita sadar bahwa harusnya kita bekerja keras agar kedua hal tersebut (cincin dalam cerita Nashrudin), bukan mengejar pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan mall apalagi Starbuck (luar rumah). Kita sadar bahwa kecerdasan bangsa yang harusnya dicita-citakan, bukan jumlah sekolah apalagi publikasi internasional.

Hal ini terjadi karenakita malas berfikir, kita ngasal yang penting  kerja, kerja dan kerja. Akibatnya, Kita sibuk berurusan dengan pertumbuhan ekonomi, meskipun yang tumbuh hanya segelintir orang, meskipun keadilan semakin jauh. Kita sibuk mempublikasikan, meskipun tidak tahu apakah hal tersebut memberikan kontribusi terhadap kecerdasan bangsa. Malas untuk menggunakan akal agar kepekaan melihat keadilan, akibatnya kita menyandarkan diri pada angka kemiskinan, angka pengangguran, angka konsumsi listrik. Karena angka-angka ini yang banyak disebut orang sebagai ukuran yang rasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun