Rasionalitas buah dari Degradasi Kemanusiaan
Sebagian pihak yang mengangungkan  pemikiran bahwa keilmuan harus berangkat dari jiwa yang kritis, sehingga segala sesuatu fakta harus dapat diterima melalui bukti empirik. Sialnya, bukti empirik yang dimaksud meletakkan manusia sebagai bobot yang lebih rendah  dibandingkan instrumen lainnya. Kekuatan manusia dalam mengolah rasa dianggap sebagai sesuatu hambatan, kekuatan manusia untuk berfikir integratif dianggap sebagai pelanggaran  dalam kaidah  disiplin ilmu. Akibatnya, manusia diposisikan sama dengan makhluk alam lainnya.
Keadaan ini memunculkan paham bahwa peran manusia harus dibatasi. Seorang guru tidak lagi dapat melakukan  pengukuran tentang baik atau tidaknya anak didiknya. Ia harus merelakan standar kebenaran berdasarkan opsi pilihan berganda yang nantinya diolah  komputer. Seorang guru tidak lagi bisa menentukan anak didik yang berprestasi karena guru yakin dengan kegigihan dan komitmen kejujuran. Ia hanya menjadi tukang stempel, atau tenaga input data hasil pengolahan komputer. muridnya tidak lagi dianggap sebagai wujud kemanusiaan, karena kemanusiaan tidak diterima dalam pengukuran rasionalitas.
Untungnya pemilihan putri kecantikan masih menggunakan kemanusiaan, melalui penilaia subjektif juri atas performa para peserta. Saya tidak dapat membayangkan, jika juri nanti diganti dengan alat-alat ukuran kecantikan seperti alat ukur proporsi tubuh, tekstur kulit, ukuran  mata, hidung dan lain sebagainya. Rasionalitas pada dasarnya merupakan elemen pelengakap dalam hidup, ia menjadi kepingan puzzle yang memperindah mozaik, jika ditempatkan pada proporsinya. Namun, ia menjadi penghancur mozaik, jika ia begitu egois untuk mengabaikan eksistensi kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H