Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meluruskan Ujian Nasional

21 Desember 2016   15:59 Diperbarui: 22 Desember 2016   21:20 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa minggu ini kita disuguhkan pemberitaan tentang moratorium ujian nasional (UN) di tahun 2017. Walaupun terjadi ditahun depan, namun tanggapan masyarakat begitu ramai. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak.

UN Dalam Tinjauan Regulasi

Berdasarkan informasi di atas dapat dilihat menteri pendidikan dan kebudayaan begitu hati-hati mengambil kebijakan tentang penghapusan UN. Jika saja pak menteri menggunakan ukuran standar nasional dalam regulasi PP RI No 19 Tahun 2005, maka keraguan tentang penghapusan UN tidak perlu terjadi. pasal 4 PP RI No 19 Tahun 2005 menyatakan “ Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat”. Standar nasional pendidikan bukanlah standar pengukuran pencapaian akademik yang harus diuji melalui UN. Mutu yang dimaksud berorientasi pada pembentukan watak serta peradaban bangsa. Oleh karena itu, jika pemerintah mau melakukan penilaian atau pengukuran, hal tersebut dilakukan, kegiatan bukan untuk mengukur materi keilmuan, tetapi lebih kepada untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. UN yang salah kaprah telah menjadi ajang untuk perlombaan ilmu pengetahuan semata, bukan pada apakah kepentingan bagsa terwujud atau tidak.

Bahkan, Poin ke II dalam pasal 2 PP tersebut menyatakan “untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.  Artinya, jika ada kegiatan pemerintah untuk mengukur pencapaian pendidikan, hal tersebut dilakukan bukan untuk menentukan seorang peserta didik lulus atau tidak, atau mampu atau tidak, tetapi sebagai upaya evaluasi untuk memperbaiki peserta didik yang bersangkutan atau rekomendasi untuk peserta didik berikutnya.

Dalam aturan yang lebih teknis seperti dalam Permendikbud no 5 tahun 2015 dijelaskan bahwa  pada hakekatnya tidak memberikan dasar yang kuat, karena kelulusan peserta didik ada disatuan sekolah untuk Sekolah dan madrasah, serta pemerintah provinsi untuk pendidikan kesetaraan. Artinya, UN tidak memiliki peran untuk menentukan kelulusan. Berdasarkan hal ini, maka penggunaan instrumen ujian pada hakekatnya tidak tepat, karena instrumen ujian seyogianya menjadi hakim (penentu) apakah peserta belajar memenuhi standar atau tidak. 

Bahkan berdasarkan konsepsi definisi UN dalam aturan ini bertabrakan dengan Permendikbud no 23 tahun 2016. Permendikbud no 5 tahun 2015 menyatakan UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Dalam Permendikbud no 23 tahun 2016 pasal tiga menyatakan penilaian sikap dilakukan oleh pendidik (guru) untuk memperoleh informasi deskriptif mengenai perilaku peserta didik. Oleh karena itu UN tidak ditujukan untuk mengukur penilaian pencapaian kompetensi,karena salah satu aspek dalam kompetensi, yaitu sikap tidak dipenuhi dan diserahkan sepenuhnya kepada guru.

Berdasarkan analisis regulasi di atas, maka eksistensi UN sudah tidak perlu diperdebatkan. Kehadirannya sebenarnya rancu. Pemahaman berbagai pihak tentang UN seringkali disamakan dengan evaluasi belajar. UN dilakukan untuk mengukur peserta belajar, sedangkan evaluasi untuk mengukur kinerja penyelengara belajar atau aktifitas pengajaran. Instrumen UN adalah cara yang dilakukan sedemikian rupa agar dapat menentukan peserta sudah memenuhi (termasuk) dalam kriteria tertentu. Sehingga, tidak ada namanya UN dijadikan salah satu proporsi kelulusan. Hal ini berbeda dengan instrumen evaluasi.  Jika UN dilakukan untuk menghakimi peserta belajar, evaluasi justru sebaliknya, hasilnya untuk menghakimi seluruh pihak yang terlibat dalam pengajaran dan konsep serta materi ajar.

UN Tidak Sama Dengan Evaluasi Belajar

Walaupun evaluasi belajar menggunakan peserta belajar sebagai objek yang dikenai instrumen (peserta belajar yang harus menjawab soal), tetapi hasil akhirnya tidak memiliki konsekuensi dengan peserta belajar. Sehingga, jika selama ini UN banyak membuat peserta belajar stres/panik dan beberapakasus kesurupan massal, dalam evaluasi stress mungkin terjadi kepada guru, kepala sekolah, dinas pendidikan dan penyusun materi.

Jika UN sangat menyeramkan sesaat sebelum diselenggarakan, evaluasi justru sebaliknya, setelah evaluasi akan menentukan nasib seluruh penyelenggara pembelajaran. Selama ini kita melihat, setelah penyelenggaran UN, tidak banyak hal yang diperbaiki, UN seolah-olah hanya menjadi urusan peserta didik. Berdasarkan hal ini, maka cara evaluasi harus dilakukan secara integratif, baik formatif maupun sumatif. Evaluasi formatif dilakukan dengan maksud mencaritahu kelemahan, ketidak sesuaian pelaksanaan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya untuk kemudian dilakukan perbaikan untuk peserta didik. Sedangkan evalusi sumatif dilaksanakan di akhir untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai, serta  perbaikan untuk peserta didik berikutnya.

Ada banyak pihak, khususnya pemerintah merasa pencapaian pendidikan nasional diindikasikan dari kemampuan menjawab soal UN. Bahkan sampai ada model kesesatan berikutnya, yaitu kisi-kisi UN. Akibat pemikiran sesat ini, maka pembelajaran disimplifikasi menjadi kemampuan menjawab soal. Padahal, pemerintah ingin menjadikan pembelajaran berbasiskan kompetensi, dimana menjawab soal hanya memenuhi aspek pengetahuan semata.

Akibat kesesatan tersebut, maka pemerintah menutup mata tentang fenomena aneh berbagai lembaga yang mengaku bimbingan belajar (bimbel) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pendidikan di negeri ini. Bahkan, para guru memberikan les tambahan, atau sekolah bekerjasama dengan berbagai lembaga bimbel. Hal ini sangat membahayakan, karena peserta belajar tidak lagi berorientasi pada pembelajaran (learning oriented), tetapi menjadi berorientasi pada ujian. Bayangkan, guru-guru bimbel yang umumnya tidak berlatar belakang keilmuan pendidikan menjadi sosok yang lebih penting dibandingkan guru. Hal ini dikarenakan guru bimbel memiliki kemampuan yang lebih efisien untuk menyelesaikan soal. Pembelajaran hanya ditujukan untuk menjawab soal, bukan lagi pada sasaran belajar yang telah ditentukan dalam kurikulum.

Hal yang lebih keliru lagi, ketika pemerintah memaksakan hasil UN dipakai PTN menerima calon mahasiswanya. Dasar penulis menyatakan hal ini keliru adalah, ujian penerimaan mahasiswa baru di PTN pada hakekatnya adalah wujud dari seleksi, karena daya tampung yang tidak sesuai dengan peminat. Selain itu, penerimaan PTN dalam rangka mengestimasi kesesuaian calon mahasiswa dengan tuntutan kampus. oleh karena itu, ujian yang dilakukan adalah pengukuran potensi akademik, bukan pencapaian intelektualitas atau keterterimaan materi belajar.

Jika pemerintah ingin melakukan UN, maka sepantasnya hal tersebut tidak dilakukan untuk siswa, melainkan untuk Guru, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, penerbit dan  seluruh pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini penting untuk memastikan apakah pihak-pihak tersebut telah lulus memenuhi standar profesi yang telah ditentukan pemerintah. Dengan mengembalikan kesesatan berfikir kita tentang UN, kita dapat menyelematkan anak-anak kita tercinta dari beban yang tidak perlu, kita dapat memperkuat fungsi evaluasi untuk melakukan perbaikan yang berkesinambungan.

Semoga bapak presiden Jokowi dapat memberikan keputusan yang terbaik untuk anak-anak peserta didik tercinta. Agar kiranya, pendidikan kita dapat memberikan kontribusi bagi tujuan negara kita tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun