Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Pahlawan Tanpa 10 November

10 November 2016   10:21 Diperbarui: 10 November 2016   10:38 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

10 November ini kita merayakan hari pahlawan, sayangnya dibandingkan dengan hari sakral lain, marwah hari pahlawan masih kalah pamor. Pada era orde baru, hari pahlawan dirayakan tidak lebih meriah dibandingkan dengan hari 30 September. Jika dibandingkan dengan hari proklamasi, maka perayaan hari pahlawan sangat jauh dari meriah.

Padahal, hari pahlawan yang mengambil momentum bersejarah pertempuran Surabaya memiliki cerita yang paling heroik, paling menegangkan, melibatkan pejuang-pejuang yang rela mengorbankan diri, menunjukkan kekuatan bangsa ini mengalahkan kekuatan yang jauh lebih kuat. Peristiwa 10 November Surabaya menunjukkan kekuatan mental merdeka kita melawan sekutu, (bukan Belanda), melawan kekuatan militer pemenang perang dunia kedua.

Dalam setiap momen seringkali tersibak satu atau lebih tokoh yang mewakili ratusan ribu tokoh. Sayangnya hari pahlawan tidak serta merta membawa nama Bung Tomo sebesar Soekarno dan Hatta saat proklamasi, nama Muhammad Yamin saat PPI melakukan pertemuan yang dijadikan perayaan sumpah pemuda, tidak sebesar pendidi Budi Utomo untuk hari kebangkitan nasional.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan kontribusi antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, namun untuk melihat makna yang terselubung dari realita yang ada. Faktanya, bung Tomo baru mendapatkan gelar pahlawan nasional di tahun 2008, 63 tahun pasca perjuangannya, bahkan ia belum sempat menerima penghormatan tersebut saat masih hidup.

Ada yang kurang pas dalam memberikan makna peristiwa penting republik ini. Kita seolah-olah hanya berfokus pada titik puncak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Padahal, ada begitu banyak perjuangan yang masih harus ditempuh pasca proklamasi. Ada begitu banyak kisah sedih dan pahit yang harus diterima bangsa ini. Menjadikan proklamasi titik puncak pada dasarnya merupakan hal yang berbahaya, karena kita menganggap kehidupan sudah normal.

Ironis Perdebatan Status Pahlawan

Ramainya menjelang hari pahlawan telah melupakan esensi dari 10 November dapat terlihat dari pemberitaan. Riuh meriah bukan soal bagaimana cerita perjuangan orang Surabya mengalahkan pasukan sekutu, melainkan urusan apakah pantas Pak Harto menjadi pahlawan nasional?, apakah pantas tokoh A atau Tokoh B. Sungguh miris, karena kita lebih sibuk memperjuangkan label-label pahlawan baru, sementara pahlawan yang telah berkorban dan tidak mendapatkan label tidak dikenang sebagaimana mestinya.

Memori perjuangan Pasca Proklamasi Kurang Dikemas

Ada begitu banyak perjuangan pasca proklamasi, bahkan peperangan justru lebih marak diberbagai daerah. Surabaya dengan 10 November, Bandung lautan Api 23 Maret, dan masih banyak lagi. Bahkan, perjuangan-perjuangan bersifat lokal di daerah dapat memberikan pelajaran betapa dahsyatnya nasionalisme. Atas dasar efisiensi, maka tidak semua perjuangan tersebut dirayakan nasional, namun pemerintah daerah seyogianya mampu mengemasnya.

Bahkan proklamasi sendiri kehilangan bukti sejarah otentiknya dengan dibongkarnya rumah kediaman Presiden Soekarno di pegangsaan timur, namun pemerintah pusat tetap berusaha keras mengemasnya dengan mendirikan tugu proklamasi, dengan mensakralkan sangsaka merah putih, dengan melaksanakan berbagai perlombaan. Bagaimana dengan nasib memori 10 November, apakah di Surabaya masih ada kenangan tersebut?. Mari kita saksi 10 November,  rumah tempat Bung Tomo pernah membakar semangat warga Surabaya lewat corong radio di masa perang November 1945 di Jalan Mawar 10 telah diratakan oleh pemiliknya, artinya kita tidak lagi dapat melihat bangunan tersebut, mudah-mudahan Janji Walikota Risma mendirikannya kembali terwujud.

Perjuangan Yang dikenang Bukan Hanya Proklamasi dan sebelumnya.

Memori pasca proklamasi yang kurang mendapatkan tempat dapat berakibat orientasi kenegaraan hanya sekedar mencapai kemerdekaan secara formal yang terjadi di 17 Agustus 1945. Akibatnya,  kita lupa akan bahaya yang terus menerus merongrong. Kita lupa bahwa negeri Belanda masih terus tidak ikhlas menerima kemerdekaan kita, kita tidka boleh lupa negeri-negeri lain, atau musuh-musuh di dalam negeri masih bisa hidup dan kembali menjadikan kita sebagai negeri jajahannya.

Suara lantang Bung Tomo, seyogianya tidak kalah dengan suara khidmat Bung Karno membacakan Proklamasi. Semoga besok ada film atau drama musikal yang dapat memberikan penyegaran memori heroik 10 November. Semoga suasana surabaya dapat kita hidupkan, agar perayaan hari pahlawan dapat dirayakan dengan konteks 10 November.

Semoga Presiden Jokowi dapat menciptakan apresiasi hari pahlawan nasional dengan menghadirkan 10 Novembernya, semoga peristiwa heroik Indonesia mengalahkan sekutu (bukan hanya Belanda) dapat memberikan inspirasi kepada kita betapa kuatnya Indonesia di hari tersebut, kita tidak lagi hanya mampy bertarung dengan negeri penjajah Belanda, tetapi dengan komplotan sekutu, kita tidak lagi hanya mengenang melepaskan diri dari penjajah, namun kita juga mampu melawan kompolotan penjajah antar negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun