Saat membaca brosur tentang seminar dari salah seorang teman, Saya melihat salah seorang teman kuliah di pasca sarjana menjadi pemakalahutama. Hal yang menarik adalah ia menjadi pembicara dalam seminar internasional dalam kapasitasnya sebagai salah satu pemateri adalah orang asing (kewarganegaraan luar Indonesia). Hal yang berbeda dengan saya dan teman sejawat yang asli WNI (bukan orang asing) belum mampu diakui untuk menjadi pemakalah. Usut punya usut, ternyata untuk mendapatkan label internasional, maka dibutuhkan pemakalah asing.
Beberapa bulan yang lalu menristekdikti akan mempekerjakan orang asing sebagai rektor di Indonesia, selain itu Mendikbud akan mempekerjakan ahli Vokasi dari Jerman untuk SMK di Indonesia. Belum lagi begitu banyaknya buruh dari Cina yang dengan gampangnya bekerja di Indonesia dengan gaji yang lebih besar. Bahkan di Republik kita tercinta, perusahaan asing masih tidak memperlakukan orang Indonesia sama dengan warga negara induknya, sehingga jabatan strategis menjadi hal yang langka bagi orang Indonesia.
Hal yang sama dengan Menteri Archandra dan Gloria. Kedua orang ini menjadi pusat pemberitaan menjelang perayaan kemerdekaan, dikarenakan perdebatan boleh tidaknya orang non WNI menjalankan tugas negara sebagai menteri atau peserta paskibraka. Bahkan, khusus untuk Archandra, keputusan presiden memberhentikannya mendapat respon negatif yang lumayan banyak. Beberapa menyayangkan keputusan tersebut, karena dianggap Archandra sebagai orang yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan bangsa. Tindak lanjutnya, maka dukungan terhadap Archandra semakin luas, bahkan usulan untuk segera merevisi UU yang terkait kewarganegaraan.
Bahkan sampai detik ini, publik masih menunggu, apakah ide untuk membuat status WNI Archandra dengan cara luar biasa masih dijadikan alternatif, diduga andai itu terjadi, maka Archandra dapat kembali menjadi menteri. Hal yang sama dengan Gloria, akhirnya melalui kisah melankolis media, maka Gloria dapat mengikuti aktifitas paskibraka.
Kalau kita kilas balik zaman kemerdekaan, bukankah perjuangan anak bangsa Indonesia untuk mendapatkan kewarganegaraan begitu pilunya. Rakyat Indonesia merasakan pahitnya hidup tanpa kewargangeraan. Proklamasi pada hakekatnya puncak perjuangan meraih kewarganegaraan bagi rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, kewargangeraan yang telah diperoleh kembali diusik oleh Belanda dan negara-negara sekutu. Demi mempertahankan kewargangeraan, Ibu ikhlas melepas anaknya berjuang, istri merelakan suaminya mempertaruhkan nyawanya. Kesimpulan akhirnya, kewargangeraan Indonesia itu tidak ternilai harganya.
Alasan seseorang berprestasi, memiliki jasa tidak serta merta membuat orang tersebut dapat menikmati indahnya status WNI. Apalagi untuk Archandra, orang yang dengan jelas dan sadar telah meninggalkan WNI yang  dimiliki, serta mengucapkan janji untuk negara lain. Archandra merasakan betul indahnya kewarganegaraan Amerika, sehingga ia harus rela melepas ke WNI-annya. Lantas, mengapa status WNI yang tidak ternilai ini begitu mudah diberikan kepada pihak lain. Andai WNI itu diberikan kepada Laksmana Maida (orang Jepang yang membantu proses proklamasi), atau kepada Multatuli barangkali akal sehat bisa menerimanya.
Kewarganegraan bukanlah aspek untung rugi yang bersumberkan rasionalitas. Kewargengeraan adalah sikap emosional yang melewati batas-batas nilai materil. Menjadi seseorang WNI bukan karena  kita butuh, tetapi karena ia pantas. Contoh pemberian status WNI yang sembarangan seperti yang terjadi pada naturalisasi pemain asing harusnya menjadikan kita lebih awas. Atas dasarke warganegaraan Indonesia, maka orang seperti Muhammad Hatta, Habibie, Prabowo masih tetap setia kepada ibu pertiwi. Meskipun di negeri asing menjanjikan kehidupan yang lebih baik, meskipun di Indonesia ia belum tentu direspons dengan baik. Jika ada warga Amerika yang mengganti warga negaranya menjadi WNI dengan imbalan menteri, sewajarnya kita harus tolak. Tidak ada pembenaran yang mengatakan seorang yang digaji Dolar di Amerika lebih hebat dibandingkan menteri  republik Indonesia, sehingga seolah-olah Archandra sudah berkorban untuk bangsa ini. Â
Pada saat kehidupan dunia menjadi global, justru arti penting kewarganegaran menjadi isu penting. Singapura memanjakan orang asingnya termasuk WNI dengan syarat mereka memiliki uang yang cukup, jika uang sudah menipis, maka tuan akan ditendang. Singapura memperlakukan orang asing sebagai konsumen, tidak lebih. Mereka tidak akan mau menerima orang yang ingin mencari pekerjaan di Indonesia.
Lihat betapa besarnya pertaruhan pemerintah Australia dan Brazil atas hubungan diplomatik dengan Indonesia hanya untuk warga negaranya yang akan dieksekusi mati. Miris, saat Wni ditampilkan dalam kampanye Hillary sebagai korban kekerasan, sedangkan orang asing diperlakukan lebih istimewa dibandingkan WNI. Lihat betapa rakyat Amerika dengan senang hati mendukung Donald Trump yang menghidupkan kembali isu anti imigran.
Modern tidak berarti melupakan status kewarganegaraan, modern tidak berarti hilangnya ego kebangsaan, modern tetap membuat kita terharu mendengar lagu Indonesia raya. Jika ada orang non WNI ada di Indonesia, ia hanyalah wujud pergaulan kemanusiaan, tidak lebih. Jikapun ia ingin mendapatkan status yang sama, maka prestasi dan kemampuan saja tidak cukup.
Waktu telah membuktikan, organisasi negara telah bertahan bertahun-tahun melebihi organisasi  korporasi. Jadi sampai kapanpun yang namanya status WNI masih tidak ternilai harganya dan tidak dapat dialihkan. Karena itulah yang dimiliki rakyat Indonesia secara otomatis, yang dapat menyamakan perbedaan status  sosial dan status suku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H