Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salah Kaprah Sekolah Swasta

3 Juli 2016   17:44 Diperbarui: 3 Juli 2016   18:00 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah sekolahdan guru swasta yang selama ini dilekatkan merupakan sebuah kekeliruan yang sangat mendasar. Berdasarkan regulasi, Indonesia tidak mengenal istilah sekolah swasta apalagi guru swasta. Hal ini tercermin dari regulasi UU Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003. Dalam pasal 1 butir XVI , disebutkan Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Definisi inilah yang sering disebut dengan istilah sekolah swasta. Bahkan dalam UU tersebut tidak disebutkan istilah sekolah negeri atau penyelenggara pendidikan negeri. Hal ini berbeda dengan pendidikan tinggi, Uu Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan istilah perguruan tinggi swasta dan negeri. 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan juga tidak menyebut istilah pendidikan atau sekolah swasta. Istilah yang dipergunakan adalah penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat, dalam pasal 2 disebutkan “Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi: penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat. 

Artinya regulasi tidak mengenal istilah sekolah swasta. Logika ini menjadi dasar, bahwa sekolah non negeri yang selama ini diberikan label sekolah swasta adalah keliru. Hal yang sama juga dengan istilah sekolah negeri, dalam nomenklatur regulasi tidak dikenal. Istilah yang dipergunakan adalah lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, lebih tepat sekolah pemerintah. Dengan demikian apa yang dianggap sekolah swasta dan sekolah negeri adalah keliru. Sekolah berbasiskan masyarakat dan sekolah pemerintah pada dasarnya sekolah negeri, kecuali untuk sekolah asing. 

Berbeda dengan sektor non kependidikan atau industri. Istilah swasta kerapkali disebut, bahkan menjadi salah satu pilar ekonomi. Sehingga pemerintah melakukan perbedaan perlakuan dibandingkan dengan BUMN dan Koperasi. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat memiliki kewajiban untuk ikut serta langsung mendukung, membiayai dan mengawasi kegiatan pendidikan non pemerintah. 

Ironisnya, masih ada regulasi yang lebih rendah menggunakan istilah sekolah swasta. Lihat saja istilah sekolah swasta dalam  Permendikbud no 24  Tahun 2013 Pasal 3 tentang penerima bantuan sosial menyebutkan istilah lembaga pendidikan swasta. 

Permasalahan dari penyebutan istilah ini cukup krusial. Istilah ini membentuk pemikiran sekolah swasta dibedakan dengan sekolah negeri. Kata Swasta diartikan sebagai kepemilikan oleh orang per orang, sehingga pendanaan masyarakat ataupun pemerintah tidak semudah dibandingkan lembaga negara. 

Padahal, Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Putusan Nomor 58/PUU-VIII/2010 tentang gugatan pasal 55 Ayat (4) UU UU 20/2003 Sisdiknas menyatakan sebagai berikut. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Dengan demikian berarti semua lembaga pendidikan berbasis masyarakat ‘wajib’ memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber dayalain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah. 

 Melalui pelurusan pemahaman tentang sekolah swasta ini, semoga setiap anak bangsa di Republik ini mendapatkan keadilan dalam kesempatan bersekolah, khususnya yang bersekolah di lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Semoga apresiasi dan respek kita terhadap guru dan sekolah yang ada di lembaga pendidikan berbasis masyarakat semakin tinggi.   

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun