Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Bercermin Melalui Kisah Buruh Kasar Si Kuli Bangunan

31 Desember 2018   20:54 Diperbarui: 31 Desember 2018   21:12 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kita sadari saat ini, peran buruh menjadi momok suatu perjuangan. Kita paham bahwa saudara kita masih membutuhkan bantuan dan pertolongan. Paradigma masyarakat masih menganggap seseorang yang bekerja sebagai kuli bangunan adalah pekerjaan yang rendah dan memprihatinkan.

Maka dari itu, mari kita bercermin melalui kisah si kuli bangunan.

Seorang kuli bangunan yang bekerja di panasnya terik matahari. Mengais rezeki hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarganya. Kebanyakan diantara kita hanya menilai seseorang hanya dari kulitnya saja, tetapi tidak sedikit diantara kita mampu melihat ia dengan sudut pandang yang kompleks.

Seorang mandor/pengawas lapangan melihat seorang kuli sedang bekerja begitu bersemangat. Ia bekerja begitu giat, datang dipagi hari sebelum matahari terbit, dan pulang di petang hari setelah matahari sudah terbenam. Waktunya dihabiskan untuk bekerja yang cukup menguras tenaga dan tak kenal lelah serta usia.

Seketika dipertengahan waktu bekerja, mandor mendatangi kuli tersebut sekedar ingin berbincang. Beliaupun bertanya "bapak sudah berumur brapa?" lalu sang kuli menjawab "iya bapak, saya sudah berumur 70 tahun". Sang mandor pun sedikit terkejut mendengarnya. Lalu mandorpun bertanya kembali, "mengapa bapak masih bekerja? Usia bapak sudah renta dan tak layak untuk bekerja". 

Si kuli pun menjawab dengan nada rendah, "saya hanya ingin memberikan tenaga saya untuk pembangunan negeri ini, walaupun saya belum memiliki uang untuk membangun rumah saya, tetapi saya memiliki keinginan untuk membangun pondasi bangunan untuk negeri ini, pak". 

Mandor terlihat menggelengkan kepala seraya tak tega melihat si kuli bangunan tersebut. Ia masih ingin bertanya kepada si kuli, dan melanjutkan pertanyaannya, "bapak bekerja untuk siapa?". Si kulipun menjawab, "saya bekerja untuk istri dan anak saya, saat ini anak saya sedang menempuh pendidikan di bidang arsitektur. 

Saya ingin ia lebih hebat dari saya, saya ingin ia mampu merancang bangunan untuk negeri ini, bukan seperti saya yang hanya mampu menjadi buruh kasar dan hanya bisa meletakan pondasi dari sebuah bangunan". Sang mandor makin terkejut dan hanya bisa merenung, diakhir pembicaraan, mandorpun masih mengajukan pertanyaan, "untuk apa bapak peduli membagun negeri ini? bapak tidak dibayar dengan upah yang besar, dan upah tersebut belum mampu untuk membangun rumah bapak sendiri".

 Si kuli terlihat menarik nafas yang dalam, dan berkata "pak, memang saya belum memiliki rumah, gaji saya memanglah kecil. Tapi saya memikirkan anak saya, negeri ini adalah rumah kami, dan rumah kita bersama. Walupun saya hanya seorang kuli, saya akan berikan tenaga saya walaupun itu dinilai kecil. Kelak anak saya yang akan melanjutkan. Ia yang akan membangun negeri melebihi apa yang telah saya beri".

Setelah si mandor pergi dan mereka terpisah di akhir proyek yang telah diselesaikan. Lima tahun kemudian, mandorpun bertemu dengan si kuli tersebut yang hadir pada proyek yang sedang diawasinya. Tetapi pada saat itu si kuli tidaklah berpakaian kusam, tetapi mendampingi seorang pria yang berpakaian rapi. Mandor berpikir si kuli hanya ingin melamar menjadi kuli pada proyek tersebut, lantas mandorpun menghampiri dan berniat untuk membantu si kuli untuk mendapatkan pekerjaan. 

Mandor menghampiri si kuli dan bertanya,"bapak sedang apa datang kesini, mau bekerja pak?". Si kuli pun menjawab dengan senyuman, "tidak pak, saya hanya ingin melihat dan mendampingi anak saya untuk menyelesaikan proyek yang sedang ia kerjakan". Tersentak mandorpun terkejut, dan bertanya,"pak arman itu anaknya bapak?" 

Kuli pun menjawab,"iya pak, ia adalah anak saya. Ia yang saya ceritakan lima tahun silam. Saat ini saya bangga padanya telah melanjutkan perjuangan saya terdahulu. Ia telah membangunkan saya rumah, dan ia membuka kesempatan pekerjaan untuk orang-orang seperti kita. Saya berharap , kuli yang lain mempunya harapan seperti harapan saya terdahulu". Seketika mandorpun terkejut, ketika pria yang berpakaian rapi tersebut adalah atasannya di proyek yang sedang ia kerjakan.

Mandor hanya dapat menundukkan kepala dan bergeliat malu kepada si kuli mantan bawahannya terdahulu. Ia terlihat merenung, dengan sikapnya menyepelekan pandangan orang lain dan melalaikan masa depan nya.

Apa yang dapat kita tarik pemahaman dari kisah ini?

Kita berpandangan seorang buruh kasar tidak mampu merubah masa depannya. Tetapi itu adalah pandangan yang salah. Seorang anak adalah masa depan yang paling berharga. 

Pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan ini ialah, "tidak ada orang tua yang menginginkan kehidupannya susah dan miskin. Akan tetapi mereka masih memiliki harapan, yaitu anaknya. Sesusah apapun kondisi kita saat ini, kita tetap harus berjuang untuk masa depan yang lebih baik". Ketika generasi tua tak lagi mampu untuk berbuat, akan hadir generasi muda untuk memenuhi harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun