Mohon tunggu...
Gunawan Mahananto
Gunawan Mahananto Mohon Tunggu... Freelancer - Ordinary people with extraordinary loves

From Makassar with love

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Alih Wahana Novel "Perburuan" Menjadi Film; Sebuah Adaptasi yang Sulit

8 Juli 2019   15:42 Diperbarui: 8 Juli 2019   16:18 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel karya Pramoedya Ananta Toer yang dibuat tahun 1950 ini, sungguh sulit awalnya saya mengerti. Belakangan saya baru paham, Sang penulis pernah mengaku kepada wartawan yang mewancarainya, tentang proses pembuatan novel atau bukunya. Berapa lama butuh koreksi? Tanpa diduga , Pak Pram, sang penulis, menjawab bahwa dia tidak pernah lagi koreksi atau membaca karangan yang selesai dibuat. Karena dia yakin, kalau buku itu dia baca ulang, akan banyak koreksi. Lalu dia khawatir buku itu tidak akan pernah selesai. Jadi setelah selesai buku itu di bab terakhir atau penutup , buku atau novel itu tidak pernah dia baca lagi. Apabila ada penerbit atau seorang editor akan mengkoreksi lagi, pak Pram tidak perlu tahu.  

Mungkin ini kunci, produktivitas tinggi seorang Pramoedya Ananta Toer dalam membuat novel. Tapi produktivitas tinggi juga dibarengi oleh karya seni dan ilmu bernilai  tinggi. 

Termasuk novel Perburuan yang dibuat tahun 1950. Novel ini menjadi juara dari lomba menulis yang diselenggarakan Balai Pustaka. 

Saya berpikir novel ini tidak akan bisa menjadi sebuah film bioskop. Mungkin film TV masih memungkinkan. Kecuali digarap oleh sutradara film sekelas Teguh Karya yang bisa membuat suatu sederhana menjadi luar biasa. Menjadi tontonan bioskop yang megah. 

Pemahaman saya tentang novel ini sendiri adalah kebingunan seorang Hardo, orang Jawa pribumi yang bekas tentara Belanda dan tentara Peta Jepang. Mungkin dia sudah jenuh bosan dan bingung. Juga penyesalan mendalam. Akhirnya dia menghukum dirinya sendiri dengan cara dia sendiri. Melarikan diri dari kenyataan. 

Untuk merenung dan harapkan keajaiban. 

"Keajaiban" itu memang lalu datang, dalam bentuk bom at Amerika yang luluh lantahkan kota kota di Jepang. Sekaligus mengakhiri perang dunia II dan agresi Jepang di negara negara Asia Timur Raya. Termasuk Indonesia . 

Waktu melihat trailer filmnya di YouTube, sang pemeran adalah aktor muda ganteng. Entah mungkin alasan komersial. Mestinya bagian makeup harus mengubah total image tampan dan agak kebulean sang aktor. Sang aktor pun harus secara profesional berupaya sendiri dengan total melebur dalam karakter tokoh Hardo di novel itu. 

Leonardo di Caprio, yang imagenya sebagai aktor tampan dan flamboyan ikon Hollywood, rela menjadi manusia hutan, seperti tuntunan dalam film itu. Kerja kerasnya membuahkan Oscar yang lama dia dambakan. Image tampan hilang seketika. Menjadi manusia kuno, bisa kasar, kejam, dan keras. 

Terasa kurang nyaman melihat sang aktor dengan senyuman manis dan gigi bersih berderet rapi. Kita seharusnya disuguhi situasi genting dan rusuh di awal Indonesia merdeka. Bukan Gita cinta di Blora ala film 80-an. 

Tapi saya tetap menanti tayangan di bioskopnya. Versi film tidak harus sama persis dengan di novel. Kadang dengan sentuhan tertentu, versi film lebih bagus dari novelnya. 

Mari kita datangi gedung bioskopnya di bulan depan supaya nggak penasaran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun