Saya sebenarnya sudah merasa tambah minder dengan keadaan ini. Namun karena tekad anak dusun membuat saya menguatkan hati untuk berlaku biasa saja.
Tiba saatnya masuk di kelas, teman-teman di kelasku diminta maju untuk mengenalkan diri masing-masing, satu per satu.
Saya melihat teman-teman begitu percaya diri berbicara di depan kelas mengenalkan diri. Dan menjawab pertanyaan guru mengapa memilih SMA 4 ini. Ada yang menjawab karena sekolah favorit. Sekolah unggulan. Sekolah yang tidak kenal tawuran. Dan lain-lain. Setiap selesai mengenalkan diri, mereka disambut tepuk tangan teman-teman sekelas.
Tiba giliran saya. Mengenalkan diri. Lalu ketika menjawab memilih SMA 4 ini, entah karena lugu atau apa, saya malah menjawab "Karena SMA 4 paling dekat dengan kontrakan kami...."
Ha ha ha. Seketika ruang kelas meledak dengan riuh tawa. Ketika ditanya ulang oleh guru untuk menegaskan lagi jawaban saya, anehnya saya tetap menjawab seperti itu. Teman-teman pun tetap tertawa dengan jawab seperti itu. Saya sendiri saat itu tak paham, walaupun mungkin wajah saya memerah menahan malu. Tapi saya keukeuh dengan jawab itu. Kala itu saya anggap jawaban saya wajar-wajar saja dan memang tidak dibuat-buat, apa adanya.
Jawaban saya sekolah dekat dengan kontrakan itu menjadi bahan candaan teman-teman setiap saat. Khususnya jika ada saya dalam kesempatan berkumpul. Selama tiga tahun saya sekolah di sana. Tiga tahun! Namun anehnya, saya tidak merasa tertekan dengan candaan dan ledekan itu.Â
Saya mengikuti pelajaran demi pelajaran dengan biasa. Dan alhamdulillah saya bisa mendapatkan prestasi di sekolah itu.
Peristiwa jadi bahan tertawaan saat masuk SMA ini kembali diingatkan lagi oleh teman alumnus SMA yang tergabung dalam grup WA (whatsapp). Setelah puluhan tahun lamanya. Saya kembali teringat. Dan kali ini saya baru tersadar. Apa yang terjadi tersebut sebenarnya adalah sebuah "tragedi" untuk seseorang. Mestinya saat itu saya mencari alasan lain yang lebih "elegan" dan "umum" dari sekadar "dekat dengan rumah kontrakan. Dan saya baru tersadar betapa lugu nya saya yang notabene orang desa/dusun.Â
Mungkinkah semua orang dusun itu lugu seperti saya? Sampai saat ini saya merasa tidak yakin ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H