Mohon tunggu...
Gunawan Prasetyo
Gunawan Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Ilmu Komunikasi

---

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang Ukur: Hibriditas Budaya Sebagai Media Komunikasi

23 Januari 2025   12:35 Diperbarui: 23 Januari 2025   12:35 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wayang adalah salah satu bentuk kesenian dan merupakan warisan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional. Wayang cukup besar mendapat perhatian karena berkaitan dengan esensinya terhadap religi maupun keyakinan masyarakat Jawa. Secara eksplisit, wayang dianggap sebagai media dalam menyatukan masyarakat yang tidak terbatas pada jumlah masyarakat, tetapi pada unsur yang lebih mendalam, yakni klasifikasi sosial masyarakat. Secara implisit, pagelaran wayang membebaskan individu dari sekelumit sistem yang dibentuk oleh masyarakat, seperti jenis kelamin, umur, profesi, kedudukan dan kekayaan. Wayang merupakan sebuah pergelaran yang bercerita tentang mitologi Ramayana, Mahabarata, dan beberapa mitologi lainnya.

Kondisi saat ini adalah wayang mulai ditinggalkan masyarakatnya. Para penonton yang terbiasa menonton wayang disuguhkan oleh kesenian lain seperti dangdut, live musik, dan lain sebagainya. Selain itu,  seiring berjalannya waktu, lahirlah bentuk-bentuk seni baru, kondisi sosial yang terus berubah, dan tuntutan masyarakat yang semakin beragam. Dampak globalisasi, modernisasi, dan westernisasi berdampak pada segala bentuk kebudayaan. Perkembangan besar-besaran telah melahirkan kesenian yang baru dan lebih menarik. Tatanan nilai mulai ditinggalkan, tuntunan mulai dilupakan, dan tontonan lebih diutamakan. Kesenian modern ditujukan kepada tataran yang luas, dan itu menjadi persoalan yang kompleks bagi kesenian tradisional. Akibatnya, cara agar kesenian tradisi dalam menjaga eksistensinya adalah beradaptasi dengan seni modern seperti film, video, televisi dan radio. Kesenian yang beradaptasi dengan keadaan merupakan upaya dalam menjaga eksistensinya dalam menghadapi perkembangan zaman yang didukung oleh kecanggihan teknologi informasi.

Untuk menjaga eksistensi kesenian tradisi khususnya wayang salah satunya adalah wayang ukur. Wayang ukur merupakan pertunjukkan kolaborasi dari beberapa seni, seperti seni tari, seni pedalangan, seni suara, seni rupa, seni sastra dan tata cahaya. Dalam wayang ukur wajib dipentaskan tarian yang sering disebut dengan tari "love dance" karena inti pesan yang disampaikan dalam wayang ukur ialah tentang cinta kasih dalam memelihara dunia. Selain itu, dalam pementasannya menggunakan berbagai macam bahasa yang disesuaikan cerita maupun wilayah, daerah atau tempat wayang ukur itu mementaskan. Sehingga ketika wayang ukur dipentaskan, bahasa yang digunakan bisa menggunakan bahasa asing, bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya selain bahasa jawa. Tulisan ini mengarah pada wayang ukur sebagai studi kasus dari pembahasan, karena wayang ukur tidak hanya merupakan wujud adaptasi, tetapi juga wujud hibriditas budaya yang ada. Perpaduan antara nilai lokal dan nilai global dengan tidak menanggalkan salah satu kebudayaan, tetapi mengkombinasikan kebudayaan yang ada.

Wayang Ukur

Indonesia memiliki berbagai jenis wayang, salah satunya adalah wayang ukur. Wayang ukur diciptakan pada tahun 1974 di Yogyakarta oleh Sigit Sukasman. Sejak tahun 1950-an sampai tahun 2000-an kehidupan sukasman selalu berada di lingkungan para penggiat seni wayang. Dia begitu terobsesi akan wayang kulit purwa kasih sejak kanak-kanak. Namun dia tidak menerima wujud, bentuk, dan cara memainkan wayang sebagaimana yang sudah mentradisi. Sukasman merenungi wayang purwa, mempertanyakan secara kritis, mempelajari secara mendalam, dan mempraktekkan hasil studi serta observasinya dengan membuat wayang menurut penafsiran dan cakrawalanya sendiri. lebih radikal lagi, sukasman menciptakan suatu genre seni pertunjukkan wayang kulit, yang dinamakan wayang ukur. (Marianto, 2019)

Awal mula ide diciptakannya wayang ukur adalah ketika sukasman mendapat tugas di Amerika Serikat untuk membuat dekorasi dalam acara New York World fair pada tahun 1964. Setelah dari Amerika, sukasman kemudian berpindah ke Belanda dan selama merantau di negeri orang sukasman sering memadukan unsur-unsur barat dalam wayang ukur. Dalam perjalanannya, wayang ukur pernah dipentaskan di Vancouver (kanada) dalam kegiatan festival kesenian dunia, pernah juga diundang ke Union Internationale de la marionnette-Unima di Magdeburg (Jerman) dan pada tahun 1974 wayang ukur hasil eksperimen sukasman dipamerkan di Pekan Wayang Indonesia.

Wayang ukur juga memiliki perbedaan dalam segi warna, durasi pementasan, dan teknik penyampaiannya. Wayang ukur selalu mementaskan dengan konsep kolosal kontemporer tanpa menghilangkan sifat klasiknya. Durasi pementasan wayang ukur minimal satu jam dan maksimal dua jam dengan dalang utamanya tetap satu orang namun dibantu oleh dalang pembantu yang berjumlah tiga orang atau lebih. Sehingga dalam pementasan wayang ukur, jumlah dalang yang memainkan wayang boneka bisa berjumlah 5 -- 10 orang. Menurut sukasman hal tersebut dilakukan supaya dalang-dalang yang ada dapat mengekspresikan keahliannya dan juga saling berbagi rejeki. Iringan musik yang digunakan dalam wayang ukur biasanya menggunakan gamelan tradisional yang ditampilkan secara langsung dan tidak langsung atau dalam bentuk rekaman, selain itu iringan musik yang digunakan dapat berupa musik modern seperti lagu-lagu barat yang  berasal dari Youtube, CD atau rekaman lainnya yang disesuaikan dengan suasana yang dibutuhkan.

Dalam pementasan wayang ukur terdapat beberapa pakem/aturan yang dibuat sendiri namun menurut sebagian seniman wayang pakem tersebut menyimpang dan dianggap merusak pakem wayang juga merombak tata sungging wayang yang telah ada, beberapa gagasan baru yang terdapat dalam wayang ukur antara lain:

1. Kelir/Layar, biasanya digunakan sebagai pembatas antara dalang dan penonton, namun dalam pementasan wayang ukur kelir digunakan sebagai salah satu properti untuk menampilkan ilustrasi 3 dimensi.

2. Kaidah seni rupa dan teknik tata cahaya yang baru. Dalam pertunjukkan wayang ukur, jumlah lampu yang dipakai tidak hanya satu melainkan terdapat 120 lebih lampu dengan warna yang bervariasi.

3. Dalam penyampaiannya menggunakan bahasa Indonesia bahkan terkadang memakai bahasa asing, padahal wayang ukur merupakan wayang yang berasal dari Yogyakarta sehingga besar kemungkinan dalam penyampaiannya menggunakan bahasa Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun