Mohon tunggu...
Gunawan Prasetyo
Gunawan Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Ilmu Komunikasi

---

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang Ukur: Hibriditas Budaya Sebagai Media Komunikasi

23 Januari 2025   12:35 Diperbarui: 23 Januari 2025   12:35 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

4. Dalam pementasannya dipadukan dengan unsur-unsur seni tari, teater, gamelan dan sastra yang tidak tunduk pada konvensi tradisi.

Teori dan Praktik Hibriditas

Hibriditas pada dasarnya menyerang beberapa aspek semisal budaya, politik, ekonomi dan pendidikan. Selanjutnya, melalui hibriditas terbentuklah ruang-ruang baru yang ditempatkan pada kehidupan sosial (Young, 2003: 79). Persinggungan budaya yang berbeda antara barat dan timur menyebabkan budaya Indonesia sebagai negara timur mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud telah berada dalam ruang lingkup yang cukup luas. Adanya pergeseran budaya ketimuran ke arah kebarat-baratan, adalah tanda adanya perubahan yang dimaksud.

Kekuatan dan dominasi wacana kolonial melalui hibriditas mendapat ujian. Hadirnya hibriditas dapat melemahkan dominasi kekuasaan kolonial. Ketika menjadi hibrid, kaum terjajah akan menjadi setara, bahkan bisa melampaui penjajah sebagai kaum dominan, sehingga hubungan-hubungan yang hadir dalam gejala hibriditas adalah gejala yang ambigu (Bhabha, 2004: 159). Sifat ambigu dalam perspektif hibriditas tersebut mengarah kepada munculnya perubahan dalam budaya pribumi yang memiliki orientasi dan kesamaan dengan budaya yang diusung kolonial. Pribumi bermaksud menyetarakan kedudukannya dengan kolonial yang melahirkan identitas baru dalam pribumi itu sendiri.

Hibriditas adalah nama dari perpindahan nilai, simbol dan berbagai tanda yang dimiliki negara terjajah yang menyebabkan kebudayaan yang dibawa oleh penjajah sebagai wacana yang dominan (Bhabha, 2004:162; Rudolph, 1967:17). Penjajah menginginkan poros kekuasaan dan kebudayaannya berada pada posisi dominasi di tengah kehidupan negara terjajah. Hibriditas menunjukkan perubahan yang bersifat dualisme dari subjek yang terdiskriminasi dan tunduk pada sebuah kekuasaan, dan mengarah pada kesejajaran posisinya dengan subjek yang dominan. Hibriditas pada kenyataannya justru menjadi ruang alternatif budaya yang berada di luar lingkaran otoritas budaya penjajah. Dapat disimpulkan bahwa hibriditas merupakan konsep wacana kolonial yang dikemukakan oleh Homi K. Bhabha. Hibriditas berarti identitas di antara dua kebudayaan yaitu barat dan timur. Negara timur yang notabene merupakan negara  terjajah mencoba melegitimasi sekaligus menerapkan budaya barat (penjajah) sebagai produk dan budaya baru bagi negaranya sendiri. Tujuannya adalah untuk menyamakan posisi dan kedudukan dalam konteks masyarakat dunia. Hibriditas dikonstruksi untuk mendefinisikan budaya penjajah. Sudut pandang hibriditas memiliki wacana politis dalam percampuran dua budaya yang dimaksud. Hibriditas membentuk sebuah ruang ketiga (third space) yang di dalamnya terjadi pertarungan budaya dengan tujuan menjadi budaya yang dominan.

Dalam perkembangannya, istilah hibriditas budaya seringkali sebagai bentuk dan praktik percampuran dua atau lebih budaya dengan hasil sebuah format baru yang berwarna campur aduk tanpa menghilangkan nilai dan karakteristik budaya sebelumnya. Percampuran budaya antara dua atau lebih budaya merupakan proses yang tidak sesederhana dengan proses yang terjadi dalam pengetahuan-pengetahuan tersebut. Percampuran yang terjadi dipenuhi dengan negosiasi dan artikulasi yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan di dalamnya. Artinya, hibridisasi dan produk hybrid yang dihasilkan, merupakan "situs pertarungan" yang didalamnya terdapat pertarungan kepentingan kultural yang ingin dinegosiasikan, diartikulasikan, dan diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalam ruang dan proses budaya yang semakin membaur satu sama lain.

Dalam karya epistemologinya mengenai wacana kolonial dan pascakolonial, terjemahan budaya, hibriditas dan ambiguitas, Homi Bhabha memberikan tempat sentral pada budaya. Bhabha sering mengacu pada sastra dan (walaupun pada tingkat yang lebih rendah) pada sinema. Berbicara dari perspektif humaniora yang mendalam, dan dipengaruhi oleh Sigmund Freud, Jacques Lacan, Frantz Fanon dan Jacques Derrida, Bhabha berpendapat bahwa dalam dunia postmodern, pascakolonial, seni, termasuk sinema, memiliki fungsi politik yang sangat spesifik untuk menunjukkan struktur pemikiran yang mendasarinya. tentang hubungan antara kata-kata, cerita, gambar dan dunia untuk menyerukan solidaritas sosial (Bhabha 2006).

Salah satu dalil penting yang dilontarkan Edward Said dalam kajian-kajiannya, baik dalam Orientalism (1978) maupun Culture and Imperialism (1993) adalah superioritas kuasa Barat yang salah satunya disebarkan melalui hegemoni dan konstruksi diskursif tentang masyarakat dan budaya Timur. Masyarakat timur selalu ditundukkan melalui stereotipe pencitraan dan penundukan wacana sebagai entitas yang tidak beradab, tidak berpendidikan, dan perlu pencerahan melalui "proyek pemberadaban" bagi bangsa-bangsa Timur, yakni kolonialisme dan imperialisme. Akibatnya, secara wacana dan praksis bangsa-bangsa timur tidak bisa melepaskan dirinya dari imajinasi superioritas Barat yang sedemikian kuatnya berlangsung dalam praktik kolonialisasi dan imperialisasi. Dalil itu pula yang kemudian menjadi titik-berangkat kajian pascakolonial dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Dalam orientalisme, Said secara kritis menekankan pentingnya perhatian pada pengaruh politis dan material dari pengetahuan dan institusi pendidikan Barat serta afiliasi mereka terhadap dunia luar. Secara tegas dia menolak pemahaman liberal tradisional yang mengatakan bahwa pengetahuan humaniora terorganisir demi pemenuhan pengetahuan 'murni' atau 'nir-kepentingan'. Lebih dari itu, dalam pengetahuan sebenarnya terdapat operasi dan teknologi kuasa, karena para ilmuwan maupun seniman adalah subjek yang dipengaruhi oleh afiliasi historis, kultural, dan institusional tertentu, yang digerakkan oleh ideologi atau pengetahuan dominan dan kepentingan politik dalam masyarakatnya.

Sementara, dalam Culture and Imperialism, Said berusaha membongkar beroperasinya kuasa dalam memposisikan manusia dan kebudayaan di luar mainstream Eropa melalui kerja-kerja kultural, termasuk di dalamnya karya sastra, dalam konteks imperialisme. Di samping membedah karya-karya metropolitan yang dihasilkan oleh sastrawan-sastrawan besar Eropa, Said juga mulai melihat karya-karya non-Eropa sebagai bahan kajiannya, seperti novel Afrika maupun Karibia, sehingga pemikiran-pemikirannya lebih beragam bila dibandingkan dengan orientalisme. Said menekankan terhadap resistensi yang bisa dimunculkan oleh para pengarang pascakolonial. Baginya apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah moda kritik kultural yang merefleksikan, atau bahkan mengadopsi, hibriditas yang berasal dari sejarah yang saling terkait dari dunia modern dan yang menghindari konsepsi identitas berdasarkan kategori ontologis kaku, baik dalam ras, etnisitas, ataupun identitas nasional.

Negara yang memerdekakan diri dari kolonialisme-imperialisme berawal dari gagasan kemerdekaan. Namun, ambivalensi sebagai apa yang oleh Homi K. Bhabha disebut sebagai hybrid juga muncul bersamaan dengan kenyataan negara dan manusia yang merdeka. Kolonialisme berakar dari satu sistem dan status budaya antara lokal dan pendatang. Akar kebudayaan ini memunculkan masyarakat kelas dan struktur tersendiri sambil menafikan satu sistem tradisi. Dengan cara inilah kolonialisme bertahan, yakni membuat masyarakat lokal bergantung. Ketergantungan pada satu imaji akan kemapanan sistem kolonial ini juga mengubah pola berpikir. Dengan demikian, terjadilah kolonialisasi kognitif, yaitu inlander adalah buruk. Pada titik ini sebuah bangsa yang terkoloni berhadapan dengan dua hal: kemerdekaan dan ketergantungan. Risiko dari kemerdekaan adalah hilangnya rantai ini, baik rantai struktur maupun rantai budaya. Demikian pula yang terjadi secara personal, yakni isolasi dan krisis psikologis. Di satu sisi, kemerdekaan adalah kemestian dan di sisi lain tidak ada tempat kembali, dalam arti akar kebudayaan. Hilangnya akar kebudayaan mengakibatkan mental yang terbelah (split personality) dan memunculkan satu gejala absurd, yakni hibriditas. Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun