“Skills, attitudes, knowledge, experiences and ethics fit together in a mutually reinforcing ‘package’ for successful digital leaders” (Ernest J. Wilson III)
"Ada e-mail masuk di Galaxy (Samsung Galaxy Tab) saya. Saya lihat kan e-mail masuk ketahuan kan. Pas saya buka ternyata ada link. Link itu saya buka ternyata gambarnya gambar enggak benar," katanya. Ia juga mengatakan, ia langsung menghapus gambar tersebut. "Itu foto tetapi saya sudah hapus karena saya lihat itu gambar porno. Saya tutup, saya hapus," katanya. Ia mengaku hanya melihat beberapa saat kemudian ia langsung menghapus gambar tersebut. "Saya bukan menonton dan menikmati film, bukan," katanya menegaskan.(www.kompas.com/diakses 13 April 2011 jam 17:51 WIB)
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Arifinto yang merupakan salah satu kader PKS dalam jumpa pers sehubungan dengan kasus sidang pariporno. Arifinto pada mulanya ingin mengklarifikasi tentang kesalahan persepsi dari media massa terhadap diriya. Namun kemudian Arifinto dipanggil pengurus PKS dan menyatakan mengundurkan diri. Yang menarik dari kasus Arifinto ini ialah beliau kemudian mundur sebagai anggota DPR dengan alasan etis dan siap bertanggungjawab dari perbuatannya.
Permasalahan mundurnya Arifinto bermula dari dia menerima email yang tampaknya ada link yang tidak disadari hal ini menjebak dia tertangkap basah oleh wartawan. Justru yang patut kita ajukan pertanyaan ialah email tersebut dari siapa ? Kalau email tersebut dari rekan yang Arifinto kenal, jelas hal ini motifnya menjebak dia. Tetapi sering email kita juga dibobol orang yang tidak kita dikenal untuk memasarkan situs pornografi. Jadi apakah Arifinto bersalah dalam hal ini, kalau dia tidak tahuatau tidak sengaja membuka ?
Kemunduran Arifinto mensiratkan dua hal, yakni: pertama, Arifinto secara gentleman mengakui keteledorannya dan dia merasa tidak ‘layak’ mewakili konstituennya, maka sikap yang diambil dia mengundurkan diri. Mundurnya Arifinto ditengah langkanya pejabat yang mau mengaku bersalah karena korupsi atau tidur pada waktu sidang menimbulkan banyak simpati di media jejaring sosial maupun media elektronik. Tampaknya Arifinto ingin menjadi teladan, agar pejabat lain yang bersalah mengaku dan tidak malu untuk mengundurkan diri. Hal ini merupakan suatu tradisi yang baik dalam proses demokrasi di Indonesia.
Kedua, peristiwa Arifinto ini dapat dimaknai adanya ‘perang kepentingan’ antara niat Tifatul Sembiring yang memberantas pornografi dan adanya pihak-pihak tertentu yang dirugikan.Selain itu dalam konteks ini dapat dipersepsi bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ‘diuntungkan’ dengan mundurnya Arifinto. Kemundurannya bermakna mencoreng nama baik PKS dan menimbulkan kekecewaan konstituen. Tampaknya ada upaya untuk menggoyang PKS dengan beberapa cara, agar mereka goyah dan manut terhadap rejim yang sedang berkuasa. Apa yang dapat kita petik sebagai pelajaran yang berarti dalam konteks digitaleadership ?
Pertama, seorang pemimpin di era digital perlu skill atau ketrampilan yang memadai, khususnya dalam menggunakan piranti yang canggih. Tampaknya piranti yang canggih seperti komputer tablet sekarang lagi ngetren, sehingga para pejabatpun tidak mau kalah untuk menggunakannya. Seolah ada anggapan bahwa dengan menggunakannya, maka sang penggunatidak ketinggalan jaman. Adanya rasa gengsi naik kalau menggunakan piranti yang canggih, tanpa disertai dengan ketrampilan penggunanya bisa berdampak fatal seperti yang dialami oleh Arifinto tsb. Dengan adanya skill yang memadai yang diterapkan dalam diri seorang pemimpin untuk menguasai piranti digital tersebut, maka piranti akan menjadi efektif mendukung pekerjaan dan bermanfaat bagi orang lain.
Kedua, seorang pemimpin seperti anggota DPR atau pejabat Negara sudah selayaknya mimiliki sikap yang baik dan benar. Sikap yang baik ditunjukkan dengan cara menggunakan piranti yang canggih pada tempatnya. Dalam rapat yang penting atau pembicaraan dengan orang lain, hendaknya piranti tersebut tidak menjadi perhatian kita, karena dapat mengganggu konsentrasi dan menimbulkan kesan tidak menghormati orang lain. Ketagihan menggunakan piranti canggih dapat menimbulkan kesan ‘egois’ dan tidak peduli terhadap orang lain.Oleh karena itu sikap yang bijak yang diperlukan oleh seorang pemimpin ialah tetap peduli terhadap orang lain. Dengan kata lain sikap kita terhadap piranti canggih jangan sampai menggeser perhatian kita kepada sesama.
Ketiga, diperlukanpengetahuan (knowledge),khususnya dalam hal penguasaan teknologi informasi. Revolusi TI yang sedemikian dahsyat mau tidak mau membutuhkan telaah dan pengetahuan yang cukup bagi pemimpin. Sebab tanpa kita mengetahui secara makro atau mikro tentang seluk beluk TI, kita bisa diperbudak atau terjadi salah penggunaan. Dengan adanya revolusi TI memerlukan paradigama baru, khususnya bagi para pemimpin untuk mensikapinya. Fakta menunjukkan Obama mengalami kemenangan didukung oleh TI dalam hal ini Obama menggunakan media jejaring sosial untuk menggalang dukungan masyarakat. Dalam kasus Arifnto tersebut diatas yang terjadi justru sebaliknya, dia tidak sengaja atau sengaja menggunakan komputer tablet pada saat sidang DPR yang membahas topik yang penting. Dalam hal ini sepertinya Arifinto sambil lalu mendengar proses sidang, namun dia asik tangan tabletnya. Dan akhirnya dia terpental dari kursi DPR. Penggunaan TI yang tepat menjadikan seorang pemimpin efektif dan efisien, tetapi penggunaan yang teledor dapat membahayakan dirinya.
Ketiga,diperlukan pengalaman yang cukup untuk menguasai piranti digital, agar kita tidak salah sasaran atau salah mempergunakan untuk hal-hal yang tidak perlu. Berbicara tentang pengalaman menggunakan piranti canggih tidak ada ilmu atau teori yang mujarab. Namun hal ini tergantung dari kebiasaan kita sehari-hari dengan piranti canggih tersebut. Intinya piranti yang canggih tidak serta merta membuat si pemakai menjadi canggih. Diperlukan latihan dan pengalaman menggunakan sehari-hari secara rutin.Menurut pengamatan saya anak-anak atau remaja memerlukan waktu satu sampai dua hari untuk menguasai piranti sepertiiPad atau Galaxy Tab. Namun orang dewasa memerlukan satu minggu atau lebih untuk menguasai seluk beluk piranti tersebut.
Dengan demikian kebutuhan mendesak bagi pemimpin dalam era digital ini ialah bagaimana dia menggunakan teknologi untuk memengaruhi orang lain secara positif. Kasus Arifinto tersebut justru sebaliknya bahwa penggunaan teknologi yang kurang tepat menyebabkan dia malah terpental dari kursi yang terhormat di DPR. Apakah anda sudah tepat menggunakan teknologi untuk memengaruhi orang lain ?Atau sebaliknya anda dikuasai oleh teknologi, sehingga tidak bisa memengaruhi orang lain ?
Tips digitaleadership dalam meraih sukses ialah utamakan profesionalitas dan kepatutan dalam menggunakan piranti canggih terhadap sesama
Guno Tri Tjahjoko
Direktur digitaleadership consultant
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H