Bandung membutuhkan resapan.
Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia relatif belum lama dan baru dirintis menjelang Pelita III. Namun demikian, dalam waktu yang pendek itu Indonesia telah banyak berbuat untuk mulai mengelola lingkungan hidupnya. Hasil utama pengembangan lingkungan hidup ini nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan masyarakat. Antara lain nampak dalam peningkatan upaya swadaya masyarakat seperti tercermin dalam kegiatan nyata dan keterlibatan masyarakat umum dalam memecahkan masalah pencemaran di daerah. Padahal, 20 tahun sebelumnya, istilah lingkungan hidup itu sendiri belum begitu dikenal.
Konsep dan kebijakan lingkungan hidup selama Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Pertama mengalami perkembangan yang sangat berarti. Selama Pelita III bidang lingkungan hidup ditangani oleh Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH) dengan prioritas pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak”, dengan tujuan agar lingkungan dan pembangunan tidak saling dipertentangkan.
Pada Pelita IV, bidang lingkungan hidup berada di bawah Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH), dengan prioritas pada keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup. Pada Pelita V kebijaksanaan lingkungan hidup sebelumnya disempurnakan dengan mempertimbangkan keterkaitan tiga unsur, antara kependudukan, lingkungan hidup dan pembangunan guna mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila kebijaksanaan dalam menangani tiga bidang tersebut selalu dilakukan secara serasi menuju satu tujuan. Bila lingkungan dan sumber daya alam tidak mendukung penduduk dan menunjang sumber daya manusia atau sebaliknya, maka pembangunan mungkin saja dapat berjalan, namun dengan risiko timbulnya ancaman pada kualitas dan daya dukung lingkungan. Kebijaksanaan dasar yang bertumpu pada pembangunan berkelanjutan ini akan tetap menjadi pegangan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada Pelita VI dan pelita-pelita selanjutnya.
Pada pelita VI, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan terpisah dari bidang kependudukan dan berada di bawah Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH). Lingkungan hidup dirasakan perlu ditangani secara lebih fokus sehubungan dengan semakin luas, dalam dan kompleksnya tantangan pada era industrialisasi dan era informasi dalam PJP Kedua (yang dimulai pada Pelita VI). Lintas sejarah perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia diuraikan menjadi tiga babak, yakni masa tumbuhnya Arus Global 1972, munculnya Komitmen Internasional, dan Komitmen Nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, serta Pasca Reformasi.
Berdasarkan historis diatas menununjukan bahwa penting nya menjaga dan mempertahankan keberlangsungan lingkungan bagi suatu masyarakat dan negara. Melihat salah satu kota terbesar di indonesia yakni bandung yang saat ini berada pada kurang nya daerah resapan air akibat dari pengalih fungsi lahan-lahan resapan.
Kota Bandung sendiri berada di cekungan menyerupai mangkok raksasa. Luas cekungan itu mencapai 350 ribu hektare dan idealnya 250 ribu hektare di antaranya adalah kawasan lindung untuk menahan limpasan air dari hulu Sungai Citarum. Dari jumlah itu, kawasan lindung di Cekungan Bandung tersisa 19 persen. Salah satu kawasan yang dianggap penting di cekungan adalah Kawasan Bandung Utara atau KBU yang mencakup Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sumedang.
Peraturan dan regulasi telah dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi jawa barat dan kota bandung yakni terbitnya, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengendalian pemanfaatan KBU, yang kemudian direvisi dengan Perda Nomor 2 Tahun 2016, berupaya melindungi KBU dengan mengharuskan pembangunan fisik hanya 20% dari luas lahan dan sisanya untuk ruang terbuka hijau serta resapan air. Faktanya tidak berjalan manis karena per tahun 2017 ini, daerah KBU sudah sangat menghawatirkan serta mengalami kerusakan yang sangat besar. Luas KBU berdasarkan perda yang ada adalah sekitar 38 ribu hektare. 38 ribu hektare itu seluruhnya adalah kawasan lindung, akan tetapi pada saat ini kita akan terkaget melihat luas dari 80 persennya sudah diintervensi oleh pemukiman, hotel, dan lain sebagainya yang sangat masif. Dengan kata lain menurut saya bandung sedang mengalami permasalahan yang sangat kompleks terhadap kerusakan lingkungan terlebih daerah resapan air sebagaimana mestinya.
Saya sebagai mahasiswa sekaligus generasi milenial melihat permasalahan ini berbanding lurus dengan jumlah masyarakat nya. Seperti pada data dari provinsi jawa baert, penduduk yang tinggal di Bandung Raya (Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota Cimahi) sebanyak 8.670.501 Jiwa atau 18% dari total penduduk Jawa Barat, artinya hampir seperlima penduduk Jawa Barat tinggal di Bandung Raya/Ibu Kota Provinsi.
Dinamika masyarakat akan semakin bertambah dan cepat dengan kebutuhan akan rumah, hiburan, akomodasi, gallery, dan lain sebagainya. Yang pada saat ini banyak saya dan kita lihat terkadang pembangunan rumah atau bangunan apapun didaerah peta resapan air juga belum mendapatkan izin, walau per tahun 2017 ini bayak apertemen telah berdiri bahkan didaerah yang tidak sama sekali diperbolehkan oleh peraturan yang ada, seperti daerah dago, parompong, ciumbeluit, punclut, ujung berung.