Partai Gelora baru-baru ini mengajukan protes keras terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) atas putusan yang dianggap melampaui kewenangan pengadilan. Partai ini awalnya meminta MK untuk memperbolehkan partai yang tidak mendapatkan kursi di parlemen tetap dapat mencalonkan peserta Pilkada. Namun, MK justru memutuskan untuk menurunkan threshold partai dalam Pilkada, yang tidak diminta oleh Partai Gelora.Â
Hal ini memicu pertanyaan mendasar: Apakah putusan ini termasuk kategori "ultra petita"? Apakah MK telah melampaui wewenangnya? Bagaimana dampak putusan ini terhadap kepercayaan publik pada lembaga peradilan di Indonesia?
Apa Itu Ultra Petita?
Ultra petita adalah putusan pengadilan yang memberikan lebih dari yang diminta oleh para pihak yang bersengketa. Dalam konteks hukum, putusan ini sering kali diperdebatkan karena pengadilan dianggap melebihi batas kewenangannya. Pengadilan seharusnya hanya memberikan putusan berdasarkan permintaan yang diajukan dalam gugatan atau permohonan, bukan menambahkan atau mengubah substansi yang tidak diminta.
Dalam beberapa kasus di Indonesia, MK atau pengadilan lainnya telah dituduh memberikan putusan ultra petita. Contoh yang relevan termasuk kasus pemilu legislatif 2009, di mana MK memberikan putusan yang mengubah mekanisme penentuan kursi DPR, yang dianggap melampaui permohonan yang diajukan. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa ultra petita menjadi masalah yang serius, mengingat implikasinya terhadap legitimasi putusan pengadilan.
Analisis Putusan MK dalam Kasus Partai Gelora
Dalam kasus Partai Gelora, MK memutuskan untuk menurunkan threshold partai dalam Pilkada, meskipun permintaan yang diajukan hanya terkait dengan partai tanpa kursi di parlemen. Putusan ini menimbulkan kebingungan karena dianggap tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh pemohon. MK dalam putusannya berargumen bahwa penurunan threshold adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan kesetaraan dalam Pilkada.
Berdasarkan analisis hukum, putusan MK dalam kasus ini dapat dianggap sebagai ultra petita. MK tidak hanya memberikan putusan berdasarkan permintaan pemohon, tetapi juga menambahkan substansi baru yang tidak diminta. Meskipun MK memiliki kewenangan konstitusional yang luas, putusan ini tampaknya melampaui apa yang seharusnya menjadi lingkup kewenangan MK.
Dampak dari putusan ini terhadap proses Pilkada sangat signifikan. Jika dianggap sebagai ultra petita, putusan tersebut dapat melemahkan legitimasi MK dan mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu ketidakstabilan hukum dan politik, terutama jika partai-partai lain juga merasa dirugikan oleh putusan yang melampaui kewenangan pengadilan.
Dapatkah Hakim MK Dikenakan Sanksi oleh MKMK?
Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MKMK) adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan memberikan sanksi kepada hakim MK yang diduga melanggar kode etik atau hukum dalam menjalankan tugasnya. Dalam kasus ultra petita, MKMK dapat berperan penting jika ada bukti bahwa putusan tersebut diambil dengan melampaui kewenangan yang diberikan.
Jika terbukti bahwa putusan MK dalam kasus Partai Gelora merupakan pelanggaran ultra petita, maka hakim-hakim yang terlibat bisa dikenakan sanksi oleh MKMK. Sanksi tersebut bisa berupa teguran hingga pemberhentian, tergantung pada beratnya pelanggaran. Namun, proses penyelidikan dan pemberian sanksi harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjaga independensi dan integritas lembaga peradilan.
Respons yang Tepat dari MK
MK seharusnya merespon protes dari Partai Gelora dengan transparan dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai dasar hukum dari putusan yang diambil. Jika diperlukan, MK juga bisa membuka ruang untuk pengkajian ulang putusan tersebut jika memang ada kekeliruan.
Â
Untuk menghindari terulangnya kasus serupa, MK perlu memperbaiki prosedur pengambilan putusan agar lebih sesuai dengan permintaan yang diajukan oleh para pihak. Selain itu, perlu ada panduan yang lebih jelas mengenai batas-batas kewenangan MK dalam mengambil keputusan, khususnya terkait dengan ultra petita. Ini penting untuk memastikan bahwa putusan yang diambil selalu dalam koridor hukum yang telah ditetapkan.
Dalam kasus Partai Gelora, putusan MK yang menurunkan threshold partai dalam Pilkada menimbulkan banyak pertanyaan terkait dengan ultra petita dan batas kewenangan MK. Meskipun MK memiliki kewenangan konstitusional yang luas, penting untuk menjaga agar kewenangan tersebut tidak disalahgunakan.
Keputusan yang melampaui permintaan pemohon dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan menciptakan ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, MK harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan selalu memastikan bahwa putusan yang diambil berada dalam batas kewenangannya.
____________
Referensi:
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
 Harijanti, Susi Dwi. "Ultra Petita dalam Putusan Pengadilan: Tinjauan dari Perspektif Hukum dan Keadilan." Jurnal Hukum dan Peradilan7, no. 2 (2018): 151-171.
Simorangkir, Luhut MP. Konstitusi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.
 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
 Arief, Barda Nawawi. "Kasus Ultra Petita dalam Praktik Peradilan Indonesia." Jurnal Hukum & Pembangunan 34, no. 4 (2004): 307-322.
Satria, Rizki. "Analisis Putusan MK dalam Pemilu 2009: Kasus Ultra Petita dalam Penentuan Kursi DPR." Jurnal Konstitusi 10, no. 1 (2013): 44-65.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H