Ada potensi konflik kepentingan yang signifikan antara misi keagamaan lembaga seperti NU dan Muhammadiyah dengan kegiatan bisnis yang berorientasi pada profit seperti pertambangan. Kegiatan tambang yang mengejar keuntungan finansial dapat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan kepedulian terhadap lingkungan dan keadilan sosial. Lembaga agama memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga integritas lingkungan dan kesejahteraan umat, yang bisa terganggu oleh eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab .
Pertanyaan yang muncul adalah apakah mengelola tambang batubara, yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan iklim, sejalan dengan ajaran agama yang mengutamakan perlindungan terhadap ciptaan Tuhan? Konflik ini semakin jelas ketika mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat, yang mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan yang diajarkan oleh agama .
Risiko lain yang muncul dalam pengelolaan tambang oleh lembaga agama adalah mismanajemen, korupsi, dan kurangnya transparansi. Mengelola tambang adalah tugas kompleks yang memerlukan keahlian khusus dan integritas tinggi. Tanpa pengelolaan yang baik, ada risiko bahwa tambang dapat menjadi sumber korupsi atau mismanajemen, yang pada akhirnya dapat merugikan lembaga itu sendiri dan umat yang mereka layani .
Kurangnya transparansi dalam pengelolaan tambang juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan umat dan masyarakat luas. Transparansi diperlukan untuk memastikan bahwa pendapatan dari tambang digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, seperti pemberdayaan umat dan pembangunan sosial. Jika transparansi tidak dijaga, lembaga agama berisiko kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat, yang dapat menimbulkan mudharat lebih besar daripada manfaat .
Perspektif Etika dan Agama terhadap Kegiatan Tambang
Dalam perspektif etika agama, pengelolaan sumber daya alam, termasuk kegiatan tambang, sering kali dipandang melalui lensa tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Konsep ini menekankan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan alam dan memastikan bahwa tindakan mereka tidak merusak lingkungan. Dalam banyak tradisi agama, kepemilikan atas sumber daya alam tidak bersifat absolut melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan.
Menurut Islam, misalnya, sumber daya alam adalah karunia dari Allah yang harus dikelola dengan bijaksana. Al-Qur'an menegaskan pentingnya menjaga lingkungan dan melarang perusakan bumi: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman" (QS. Al-A'raf: 56) . Hal ini menunjukkan bahwa setiap aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan, seperti pertambangan, harus dipertimbangkan secara serius dari sisi etika agama.
Pendapat Ulama dan Tokoh Agama
Sejumlah ulama dan tokoh agama memberikan pandangan yang beragam mengenai keterlibatan lembaga agama dalam kegiatan ekonomi, termasuk pertambangan. Sebagian mendukung keterlibatan ini dengan alasan bahwa lembaga agama dapat memastikan bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang diajarkan agama. Misalnya, KH. Ma'ruf Amin, seorang ulama dan Wakil Presiden Indonesia, pernah menyatakan bahwa lembaga agama memiliki peran penting dalam memastikan kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya alam .
Namun, ada juga pandangan yang lebih kritis. Beberapa ulama berpendapat bahwa keterlibatan lembaga agama dalam kegiatan ekonomi seperti tambang dapat menimbulkan konflik kepentingan dan merusak citra lembaga agama itu sendiri. Mereka berargumen bahwa fokus utama lembaga agama seharusnya adalah pada pembinaan moral dan spiritual masyarakat, bukan pada aktivitas ekonomi yang berisiko tinggi dan berpotensi merusak lingkungan.
Pendapat ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan tambang sering kali menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, mereka menyarankan agar lembaga agama lebih berfokus pada advokasi untuk perlindungan lingkungan dan penegakan keadilan sosial, daripada terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi yang kontroversial.