Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah usaha Meng-ada-kan ku

Mencari aku yang senantiasa tidak bisa kutemui

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hakim MK yang Bela KPK

6 Mei 2021   09:35 Diperbarui: 6 Mei 2021   09:50 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kompas.com


Perjuangan agar KPK sungguh menjadi benteng dan institusi anti korupsi tetap diusahakan oleh masyarakat yang peduli.

Bagi mereka revisi UU KPK adalah suatu bencana karena seolah membuka gerbang bagi pelemahan dan penghancuran KPK.

Berbagai usaha telah dilakukan, dari demonstrasi, pengumpulan tandatangan dan bahkan berbicara langsung ke penguasa negeri ini.

Usaha konstitusional pun menjadi pilihan ketika cara lain nampaknya tidak mendatangkan hasil yang memuaskan. 

Dengan usaha ini, revisi UU KPK pun dibawa ke MK untuk diuji secara formil, apakah proses revisi itu sesuai dengan konstitusi atau tidak.

Hasil uji formil itupun sudah keluar pada tanggal 4 Mei 2021 lalu dan dinyatakan bahwa proses formilnya sah dan sesuai dengan konstitusi. 

Namun ada hal yang yang menarik dari hasil keputusan para hakim konstitusi ini. Keputusan mereka tidak bulat. Ada satu hakim yang berbeda pendapat. Hakim itu adalah Wahiduddin Adams.

Dalam argumen Dissenting Opinion nya, dia menyatakan, "Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik," 

Juga menurut hakim senior ini proses revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK itu dilakukan dalam waktu singkat dan secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental. 

Menurutnya UU KPK harusnya dibatalkan, ia berharap dapat menyiratkan pesan kepada pembentuk undang-undang dan masyarakat bahwa secara materiil terdapat gagasan yang baik dan konstitusional terhadap KPK dalam UU a quo. 

Ia juga menambahkan argumen jika dibentuk dengan prosedur yang lebih baik, diharapkan kelembagaan KPK juga menjadi lebih bagus ketimbang periode sebelumnya.

Ya sebenarnya pendapat hakim ini sangat lah rasional dan masuk akal. Karena tujuan hakiki revisi UU KPK seharusnya memperkuat institusi anti korupsi itu dan bukan sebaliknya melemahkan. 

Bahkan KPK sendiri waktu itu menyatakan bahwa UU tersebut tidak perlu diubah karena sudah cukup untuk memberantas korupsi di negeri ini. Itulah yang menjadi alasan mengapa mereka tidak mau hadir ketika diundang DPR untuk memberikan masukan, karena sudah jelas apa yang ingin mereka sampaikan.

Namun para pengusung revisi tentu punya alasan berbeda, karena mereka menganggap KPK sebagai lembaga yang "terlalu independen" dan "super body". Para penguasa negeri ini rupanya gerah karena KPK tidak bisa diintervensi demi kepentingan politik mereka.

Dengan alasan ini tentu saja revisi tujuannya bukanlah penguatan tapi justru pelemahan. Maka dimasukkan lah Dewan Pengawas supaya KPK bisa diawasi dan diintervensi. Juga beberapa ayat lain yang menyebabkan KPK terbelenggu dan kehilangan independensi, termasuk mewajibkan semua staff KPK menjadi Pegawai Negeri.

UU hasil revisi juga membolehkan KPK membatalkan perkara, sehingga lembaga ini bisa buang badan jika kasus korupsi itu dirasa terlalu sulit diselesaikan.

Padahal justru larangan KPK untuk membatalkan kasusnya ini adalah hal yang paling ditakutkan para koruptor karena begitu mereka disidik dan jadi tersangka maka tidak ada harapan mereka bisa lolos dari jerat pidana KPK.

Walau kalah suara, hakim ini telah berusaha membela KPK. Saat ini suaranya hilang oleh karena kalah jumlah. Namun setidaknya gema suara itu menyumbangkan suatu kesadaran bahwa korupsi dan para koruptor di negeri ini masih belum sebagai musuh bersama. Serta mafia korupsi yang hadir di semua lini bukanlah isapan jempol belaka. Perjuangan agar negeri ini bebas korupsi masih sangatlah panjang. 

Ya kita masih perlu merapatkan barisan agar lebih banyak lagi hakim yang mampu menilai bukan hanya berdasarkan nalar tapi juga hati nurani.***MG

Bahan bacaan:

Kompas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun