Mohon tunggu...
Gunadi Kasnowihardjo
Gunadi Kasnowihardjo Mohon Tunggu... PNS -

Sarjana arkeologi, S1 UGM, S2 U.I. tinggal di Yogyakarta dan bekerja di Balai Penelitian Arkeologi Yogyakarta. Saat ini tengah memulai studi tentang arkeologi publik dan manajemen sumberdaya arkeologi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arkeologi Menjawab Tantangan Publik

28 Agustus 2017   08:00 Diperbarui: 28 Agustus 2017   08:13 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Memperhatikan akan "kekurangan" dari sektor penelitian arkeologi tersebut, penulispun mulai mencari terobosan-terobosan baru dalam kegiatan penelitian seperti yang pernah dilakukan di Tarakan (2003), Kutai Kartanegara (2004, 2005, 2006), Tapin (2006), serta kegiatan ilmiah yang mengangkat tentang kearifan lokal (Diskusi Ilmiah Arkeologi, IAAI Komda. Kalimantan, 2005), dan kegiatan revitalisasi kawasan Candi Agung (2006). Di wilayah kerja Balai Arkeologi Yogyakarta, mulai tahun 2008 ini saat penulis mulai dipercaya untuk memimpin tim penelitian, akan dicoba dikaitkan antara penelitian arkeologi dan kearifan lokal masyarakat yang bermukim di tepian danau. Hasil penelitian arkeologi permukiman (settlement archaeology) ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat saat ini dalam mengelola danau dan lingkungannya demi kehidupan yang lebih berkwalitas baik untuk manusia yang hidup saat ini maupun bagi generasi mendatang.

            Model penelitian arkeologi di Indonesia seperti pernah digagas oleh Nurhadi dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi di Bedugul, Bali tahun 2000 yang lalu perlu saya ingatkan kembali. Ada dua hal penting yang harus kita (para peneliti arkeologi) perhatikan yaitu : pertama, amanat yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kerja, baik akuntabilitas akademik maupun akuntabilitas publik. Kedua, dengan memperhatikan akuntabilitas publik tersebut maka hasil penelitian arkeologi akan dapat dirasakan oleh masyarakat, terutama  masyarakat pemilik sumberdaya tersebut (Nurhadi, 2000).

            Pada draft Revisi Undang -- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang telah dibahas dan disosialisasikan hingga pertengahan tahun 2010 ini salah satu pasalnya menyebutkan tentang penelitian arkeologi murni dan penelitian arkeologi terapan. Kedua istilah dan pengertian tersebut menurut hemat saya akan mengaburkan tugas pokok dan fungsi lembaga penelitian arkeologi. Dalam penelitian arkeologi tidak ada atau tidak tepat adanya penelitian terapan seperti yang digunakan pada disiplin antropologi. Adapun kajian baru tentang cultural resources management (CRM) ataupun lebih tepatnya archaeological resource management (ARM) yang sering dilakukan akhir-akhir ini mungkin lebih tepat disebut sebagai penelitian arkeologi terapan. Akan tetapi, sebelum dilakukan kajian manajerial harus terlebih dahulu dilakukan penelitian arkeologinya. Hal ini yang sering tidak diperhatikan oleh para peneliti arkeologi yang langsung melakukan kajian manajerial (CRM).

            Munculnya kajian CRM dan ARM di negara maju seperti di Eropa maupun Amerika, karena secara akademis telah tuntasnya penelitian -- penelitian arkeologi pada masing -- masing situs, sehingga perkembangan berikutnya adalah kajian -- kajian yang terkait dengan kemasyarakatan atau publik. Hal ini seperti dikatakan oleh Ian Hodder     

ARKEOLOGI PUBLIK

            Dalam Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 (Gunadi, 2004), menguraikan tentang arkeologi publik ini dengan memformulasikan setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, keberadaan sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan kepentingan masyarakat (nilai ekonomis). Kedua, sumberdaya arkeologi penting bagi kehidupan manusia karena mengandung nilai edukatif dan rekreatif. Ketiga, sumberdaya arkeologi akan memacu munculnya ikatan emosional bagi masyarakat yang peduli akan kelestarian dan pelestariannya, dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat nirlaba. Tiga hal inilah yang harus ditangani dan digarap oleh para manajer sumberdaya arkeologi yang berkaitan dengan arkeologi publik.

Seperti telah ditulis pada bagian pendahuluan bahwa arkeologi tanpa keterlibatan masyarakat umum adalah sia-sia. Oleh karena itu masyarakat harus tahu dan memahami apa yang dikerjakan oleh para peneliti arkeologi agar dapat mengambil intisari dari hasil penelitian tersebut dalam menjalani kehidupan saat ini ataupun bagi masyarakat dari generasi yang akan datang. Pada dasarnya arkeologi adalah untuk publik, maka dari itu semua bentuk perencanaan penelitian arkeologi semaksimal mungkin hasil laporannya dapat dikontribusikan kepada kepentingan masyarakat luas. Agar masyarakat tertarik kepada arkeologi, seperti yang dilakukan di Negara-negara maju, mereka secara periodik menyelenggarakan apa yang disebut dengan istilah Archaeology Month, di Indonesia mungkin lebih tepat memakai istilah Bulan Purbakala yang dapat diselenggarakan setiap bulan Juni selama sebulan penuh dengan melibatkan berbagai instansi purbakala dan arkeologi serta instansi terkait lainnya, maupun organisasi profesi, seperti Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Asosiasi Prehistorisi Indonesia (API).

            Untuk itu masyarakat harus  dibekali tentang berbagai hal yang berkaitan dengan arkeologi seperti nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi, apa relevansinya dengan dunia modern saat ini, siapa yang dapat diuntungkan dari sumberdaya arkeologi, dan bagaimana keuntungan tersebut dapat diperoleh, serta mengapa sering terjadi konflik yang dipicu dari keberadaan sumberdaya arkeologi. Di Negara-negara maju materi seperti tersebut di atas bahkan dapat diberikan melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. Di Indonesia, dengan berdirinya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli akan pusaka budaya ataupun pusaka alam (bahkan kedua-duanya), arkeologi dapat bekerjasama dengan lembaga nirlaba tersebut. Sayang, kemitraan antara lembaga arkeologi (yang sampai saat ini masih didominasi oleh pemerintah) dan lembaga swadaya masyarakat tersebut  belum dapat terjalin dengan "mesra".  Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Negara-negara maju seperti di Amerika, di sana benar-benar archaeology for the public seperti yang dilakukan oleh Society for American Archaeology (SAA) dengan anggotanya yang berjumlah 7000 orang, mereka bukan arkeolog tetapi oleh organisasi tersebut dilatih untuk belajar tentang budaya manusia masa lampau berdasarkan tinggalan artefaktualnya, serta diarahkan untuk dapat berperan dalam upaya pelestarian sumberdaya arkeologi dan sumberdaya budaya pada umumnya (www.saa.org). 

ANTARA PENELITIAN ARKEOLOGI DAN ARKEOLOGI PUBLIK

Kata "pengembangan" dalam kaitannya dengan nomenklatur lembaga penelitian di atas, haruslah dapat dipahami dan dijabarkan dalam persepsi yang sama di antara para peneliti Arkeologi di lingkungan lembaga penelitian Arkeologi Indonesia. Perlu saya ingatkan bahwa pengertian pengembangan ini telah dibakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan tertuang dalam Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya (2005) yang menyebutkan bahwa pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.    Yang kedua, kita harus menyadari bahwa pada sektor lain dalam sistem manajemen sumberdaya Arkeologi di Indonesia seperti sektor pelestarian dan pemanfaatan juga melakukan kegiatan yang bersifat pengembangan. Oleh karena itu kita harus dapat memilah dan memilih kegiatan "pengembangan" yang bagaimana yang seharusnya kita lakukan? Pertanyaan ini bagi saya pribadi tidak mudah untuk dicarikan jawabannya.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata pengembangan berarti suatu proses, perbuatan atau cara mengembangkan sesuatu obyek. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian Arkeologi, kegiatan pengembangan ini merupakan suatu kegiatan tahap kedua pasca penelitian agar suatu situs atau obyek Arkeologi tersebut dapat lebih bermanfaat baik bagi ilmu pengetahuan (akademis), maupun bagi masyarakat secara luas (praktis). Oleh karena itu para peneliti dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pengembangan pada situs-situs Arkeologi yang pernah dilakukan penelitian berulang kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun