Mohon tunggu...
Gunawan WS
Gunawan WS Mohon Tunggu... -

WS Rendra jadi-jadian.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mencari Warkop

6 Juni 2017   15:03 Diperbarui: 7 Juni 2017   08:23 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dono: Lho? kok ilang?

Kasino: Lu sih, meleng aja!

Dono: Lah situ sih ngajak berantem.

Kasino: Lu yg gak ngarti!!

Dono: Ngarti apa?

Kasino: Gua dah nyanyi buat kode, lu bengong aja.

Dono: Lho? nyanyian tadi kode toh!?

Kasino: BODOH DIPIARA, KAMBING DIPIARA BISA GEMUK!!!!

Mayoritas penduduk Indonesia pasti pernah setidaknya satu kali menyaksikan sepenggal dialog lucu antara Dono DKI dan Kasino DKI di atas. Biasanya lebih familiar dengan guyonan "yang baju merah jangan sampai lepas". Dialog tersebut memang menjadi salah satu adegan dalam Film Warkop DKI Pintar-Pintar Bodoh yang paling berkesan.

Adegan dimulai dengan Dono dan Kasino yang sedang mengamen di sebuah warung makan tenda sederhana dimana ada seorang gadis cantik berbaju merah yang sedang menikmati santap malamnya. Kasino yang terlanjur memainkan gitarnya berusaha memberi kode kepada Dono agar fokus kepada gadis itu. Dasar, si Dono sendiri malah sedang asyik menggoda wanita lain dan tidak mengerti dengan maksud nyanyian Kasino yang bercampur dengan kode-kode. Alhasil jadilah sepenggal dialog di atas.

Siapa yang tak kenal grup lawak legendaris  yang merajai layar lawak Indonesia di kisaran dekade 1980 dan 1990 bernama Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro)?  Film-film komedi mereka selalu menjadi tontonan yang laris, bahkan diindentikkan dengan momen Hari Raya Idul Fitri. Pasalnya film-film Warkop DKI didapuk oleh semua saluran televisi pada masa itu untuk mengisi waktu Lebaran. Sungguh sangat memorable. Bahkan baru-baru ini kelucuan mereka bertiga berusaha dihidupkan kembali dalam film berjudul 'Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss!'. 

Namun, tanpa mengkerdilkan peran setiap insan perfilman yang terlibat dalam pembuatan Warkop DKI Reborn : Jangkrik Boss!, menghidupkan sari-pati komedi Warkop DKI tanpa personil asli beserta timnya tentu menjadi tantangan yang sangat berat. Karena nature Warkop DKI adalah karakter yang saling melengkapi dari Dono, Kasino, Indro lalu ditopang dengan bahan lawakan yang cerdas dan sederhana.  

Guyonan ala Dono, Kasino, dan Indro memang jarang sekali bertele-tele ataupun rumit. Bahkan guyonan yang sederhana dan lugas itu lebih mengena ke sendi-sendi kehidupan masyarakat luas. Hampir seluruh Film Warkop DKI terbilang sukses. Saya sendiri sebagai salah satu dari generasi yang terlahir di era awal 90'an masih sering terpingkal-pingkal saat menonton Film Warkop DKI dengan personil aslinya. Tema-tema yang mereka angkat sangat ringan, nyata dan selalu menggambarkan kondisi sosial masyarakat dari berbagai lapisan. Mungkin hal tersebut faktor terkuat dari betapa awetnya lawakan-lawakan Warkop DKI membekas di benak penggemarnya. Apa yang mereka tertawakan adalah keseharian mereka sendiri sebagai masyarakat.

Keberadaan Warkop DKI pun diikuti grup lawak lain untuk naik panggung nasional. Sebut saja Bagito dengan Miing sebagai salah satu pentolannya, yang notabene pernah beberapa tahun bertugas membantu Warkop DKI mencari bahan lawakan segar (disini terlihat profesionalitas dan keseriusan Warkop DKI dalam berkarya). Bagito singkatan dari Bagi Roto (dibagi rata) beranggotakan Miing atau TB. Dedi Gumelar, Didin atau TB. Didin Pinasti, dan Unang atau Hadi Wibowo. Bagito sempat ambil bagian dalam kejayaan komedi di sekitar tahun 1990-an dengan tampil dalam Bagito Show di stasiun televisi RCTI.

Sebenarnya, beberapa tahun sebelum Warkop DKI dan Bagito tenar, di 1960-an dunia komedi Indonesia telah diramaikan oleh grup lawak yang cukup banyak anggotanya. Srimulat. Rasanya tidak ada grup lawak yang sanggup menandingi kekuatan ciri dan keunikan dari grup lawak ini karena setiap personil atau anggotanya mempunyai karakter yang sangat melekat bahkan di luar panggung sekalipun. Sebut saja Mamiek atau Tarzan yang menjadi langganan untuk berperan sebagai majikan atau panggede. Tentu akan susah membayangkan Gogon, Basuki atau Pak Bendot yang mengambil peran majikan karena plot cerita mendapuk mereka menjadi pihak 'kalah-kalahan'.

Panggung lawak di masa itu memang berperan seperti corong sosial dimana berbagai dinamika kehidupan sosial masyarakat dari berbagai lapis, khususnya lapis menengah ke bawah, dapat disuarakan dengan balutan guyonan-guyonan satir yang tidak agresif. Masyarakatnya pun tidak seperti kulit tanpa pigmen, sensitif. Sehingga tingkat kewarasan masyarakat di masa itu pun lebih terjaga. Ini menurut pendapat pribadi saya, sih.

Saya sempat pupus harapan (lebay) saat sebagian hampir besar teman-teman saya menganggap Raditya Dika dan pelaku komedi sejenisnya itu lucu. Lebih pupus lagi saat saya melihat setiap buku Raditya Dika laris manis. Sungguh kenyataan yang berat untuk diterima. Namun, setidaknya panggung komedi Indonesia saat ini masih terselamatkan oleh Sule, Andre, Cak Lontong, Pakdhe Indro DKI dan beberapa pelaku komedi lain yang melucu tanpa agresivitas yang off-side apalagi menghina.

*Perihal tentang Raditya Dika di atas adalah murni pendapat pribadi yang berdasarkan perasaan pribadi, bukan data. Jadi, jika dan hanya jika ada yang 'berminat' membantah, tidak perlu repot-repot melakukan riset atau menyiapkan argumen. Cukup katakan saja, "menurut saya lucu, kok." maka selesai. Karena saya tidak akan mendebatnya. Sekian.

Referensi :

Sandyakalaning Lawak Televisi Indonesia - diakses 06 Juni 2017

7 Grup Lawak Legendaris Indonesia diakses 06 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun