Mohon tunggu...
Gunawan Widjaja
Gunawan Widjaja Mohon Tunggu... dosen -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Patient Safety: Kepentingan Rumah Sakit atau Pasien?

10 Juni 2015   08:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:08 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

 

Patient safety secara harfiah merujuk pada keselamatan pasien. Dengan rumusan tersebut, maka patient safety seharusnya ditujukan untuk menciptakan dan memberikan keselamatan bagi pasien. Secara konseptual, patient safety selalu dikaitkan dengan salah satu risiko dalam rumah sakit, yang merupakan bagian dari risiko klinis (clinical risk). Yang dinamakan dengan risiko klinis adalah semua isu yang dapat berdampak terhadap pencapaian pelayanan pasien yang bermutu tinggi,aman dan efektif. Jenis risiko klinis ini disebut dengan patient care-related risks.

Patient safety atau keselamatan pasien di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UURS). Dalam ketentuan Pasal 2 UURS tersebut dinayatakan dengan tegas bahwa penyelenggaraan rumah sakit harus didasarkan pada keselamatan pasien. Sedangkan dalam Pasal 3 UURS dikatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien di rumah sakit, dan memberikan kepastian hukum kepada pasien Rumah Sakit. Ketentuan mengenai keselamatan pasien sendiri diatur dalam Pasal 43 UURS. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UURS menyatakan bahwa “Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.” Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UURS menjabarkan ketentuan tersebut dengan menentukan bahwa “Yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Dalam ketentuan selanjutnya dikatakan bahwa standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah kesalahan medis (medical error), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss). Selanjutnya  Rumah Sakit melaporkan kegiatan tersebut kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Menteri. Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien dikatakan akan diatur dengan Peraturan Menteri.

Jika diperhatikan ketentuan tersebut dalam UURS, tidak ada satu ketentuanpun yang secara konkrit memberikan perlindungan keselamatan bagi pasien. Semua proses yang dinamakan standar keselamatan hanya dibuat untuk kepentingan rumah sakit dengan segala macam bentuk dan wujud pelaporan, analisis dan penurunan angka kejadian di kemudian hari. Tidak ada satupun ketentuan yang mewajibkan rumah sakit untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang secara konkrit memberika perlindungan bagi pasien sebagai wujud keselamatan pasien. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Permenkes 1691) yang diharapkan dapat memberikan uraian dan penjabaran lebih rinci terntang upaya konkrit perlindungan keselamatan pasien secara langsung ternyata juga tidak memberikan pengaturan sama sekali.

Menurut Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit terdapat tujuh standar keselamatan pasien tersebu. Salah satunya adalah Hak pasien. Terhadap hak pasien, terdapat standar dan kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:

Standar:

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.

Kriteria:

1.1. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.

1.2. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan

1.3. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.

Rumusan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit tersebut adalah satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai Hak Pasien atas Keterbukaan Informasi bagi pasien dalam bentuk informasi yang berkaitan dengan kejadian tidak diharapkan. Lebih jauh dari itu tidak ada suatu pengaturan atau penjabaran lebih lanjut mengenai bentuk atau wujud keterbukaan informasi tersebut, dan tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai sanksi tidak dilakukannya keterbukaan informasi tersebut. Alhasil, sampai sekarang ini masih sangat banyak rumah sakit yang tidak melaksanakan fungsi keterbukaan informasi dalam patient safety; padahal keterbukaan informasi bagi pasien adalah salah satu pilar utama, bahkan pertama dalam pelaksanaan patient safety. Justru kerahasiaan yang lebih banyak dikemukakan oleh rumah sakit. Berlindung di bawah topeng kerahasiaan hanya akan memperburuk hubungan antara pasien dan rumah sakit. Maksud kerahasiaan adalah agar data pasien tidak dibaca oleh orang atau pihak yang tidak berwenang untuk melindungi pasien; dan bukan untuk melarang pasien mengetahui semua informasi medis dari pasien tersebut. Rumusan bahwa Rekam Medis adalah milik rumah sakit adalah rumusan yang menyesatkan dari UURS. Perlindungan keselamatan pasien justru tidak tercapai dengan ketentuan tersebut. Pasien dan rumah sakit seolah-olah dihadapkan bukan sebagai hubungan kepercayaan yang berfokus pada keterbukaan informasi; tetapi lebih pada hubungan yang bersifat “antagonis”.

Tidak dapat disangkal bahwa patient safety melibatkan empat domain, yaitu (1) orang-orang yang menerima pelayanan kesehatan, (2) orang-orang yang memberikan pelayanan kesehatan, (3) sistem aksi terapeutik, dan (4) metode serta elemen yang ada dalam setiap domain tersebut. Dalam konteks ini jelaslah jika patient safety harus berhasil maka orang-orang yang menerima pelayanan kesehatan atau yang secara umum dinamakan pasien harus tahu dilibatkan di dalamnya. Tidak mungkin suatu sistem patient safety dapat berjalan dengan baik jika pasien tidak dilibatkan di dalamnya. Salah satu proses atau cara melibatkan pasien adalah dengan prinsip keterbukaan (transparansi). Yang dinamakan dengan transparansi adalah keingingan dan kemampuan untuk jujur dalam melakukan suatu tindakan tertentu. Dalam konteks patient safety adalah kejujuran kepada pasien, yang sudah harus dimulai sejak pasien pertama kali mendapatkan pelayanan kesehatan. Transparansi ini harus berjalan dua arah dan tidak hanya satu arah. Pasien harus jujur pada pemberi pelayanan kesehatan, demikian juga sebaliknya, termasuk didalamnya jika terjadi kesalahan medis (medical error), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss). Dengan terjadinya keterbukaan, maka kepercayaan antara pasien dan pemberi layanan kesehatan termasuk fasilitas pemberi pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit menjadi lebih tinggi. Segala sesuatu hal selanjutnya akan diselesaikan secara bersama-sama. Budaya saling menyalahkan (blaming culture) pun tidak akan sempat berkembang.

Dari sudut pandang etika, patient autonomy memberikan hak kepada pasien untuk mengetahui apa yang akan dan telah terjadi kepadanya sehingga pasien dapat mengambil keputusan yang tepat tanpa harus menyalahkan siapapun juga. Dari sudut pandang pasien, keterbukaan mengenai fakta, langkah yang diambil, keterbukaan sikap serta perilaku pemberi layanan kesehatan, termasuk manajemen rumah sakit, termasuk langkah-langkah pencegahan di kemudian hari. Makin banyak yang disembunyikan dari pasien, makin takut pasien tersebut berhubungan dengan pelayanan kesehatan.

Dengan demikian seperti rumusan kata-katanya yang secara harfiah merujuk pada keselamatan pasien, dengan pasien sebagai subjeknya yang harus diselamatkan, maka sudah seharusnyalah jika patient safety jangan sampai hanya menjadi jargon dengan segala macam pencatatan dan pelaporan yang pada akhirnya hanya akan menjadi catatan di atas kertas yang tidak pernah memberikan manfaat langsung pada pasien, namun alih-alih untuk mencegah terjadinya hal serupa di kemudian hari. Penerapan patient safety saat ini memang masih jauh dari pemahaman tentang makna sesungguhnya dari patient safety. Seperti dikatakan sebelumnya tidak adanya sanksi yang dapat dikenakan pada rumah sakit yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan patient safet turut memperburuk pelaksanaan patient safety di Indonesia. Untuk itu pemberian sanksi yang lebih tegas bagi rumah sakit maupun tenaga kesehatan yang bekerja dalam rumah sakit yang tidak melaksanakan patient safety procedure, khuusnya dalam pemberian keterbukaan informasi dengan baik dan benar sangatlah diperlukan. (GW)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun