Kebiasaan membaca buku memang menjadi topik klasik yang tak pernah usang untuk dibahas. Sebagai seorang pembaca buku dan sudah berkali-kali tergabung dalam gerakan literasi. Saya mengamati sekilas bagaimana geliat literasi di Indonesia menempati posisi yang miris. Pertama, kemirisan itu datang dari survei yang kerap diadakan oleh lembaga riset dunia semacam PISA atau UNESO. Riset yang diadakan lembaga-lembaga tersebut sering menempatkan Indonesia pada posisi rendah dalam tingkat literasi. Kedua, miris sebab kegiatan membaca masih dianggap sebagai kegiatan yang "aneh". Aneh sebab lingkungan kita nyatanya tak mendukung budaya membaca. Maksudnya, banyak orang menganggap bahwa membaca buku di tempat umum adalah kegiatan kaum minoritas. Di warung misalnya, orang lebih memilih main game online ketimbang diskusi atau baca buku.
      Tentu keberadaan pembaca buku masih tergolong minoritas, apalagi saya mengamati ternyata ada banyak anggapan miring yang disematkan oleh orang awam bagi para pembaca buku di Indonesia. Di antaranya sebagai berikut:
Introver akut
      Sering sekali, seorang pembaca buku diasumsikan sebagai orang yang introver. Yakni memiliki kepribadian yang nggak mudah srawung dengan orang sekitar. Para pembaca buku ini mudah dinilai anti-sosial sebab mereka memiliki kecenderungan untuk menjauh dari lingkungan-lingkungan yang ramai. Buktinya, para pembaca buku kerap ditemui di tempat-tempat sepi, kalau nggak di perpustakaan, di pojokkan kafe atau di dalam kamar. Hal ini tentu membuat orang awam memandang sinis para pembaca buku,  sebab secara sekilas, para pembaca lebih memilih untuk jauh dari kerumunan. Padahal pada faktanya nggak sesimpel itu. Kalian perlu tahu bahwa membaca buku perlu daya konsentrasi yang tinggi, di mana lingkungan sepi akan menunjang para pembaca untuk lebih memahami apa yang dibacanya. Jika kondisi lingkungan tak steril --ramai misalnya---tentu pembaca buku nggak nyaman sebab terlalu banyak distraksi.
      Sematan introver itu tentu aja nggak bener. Sebab toh nyatanya mereka yang ekstrover tetap memerlukan lingkungan sepi agar mampu menyerap bacaan dengan baik. Membaca buku butuh keheningan dan suasana yang tenang. Okelah bisa aja kami (baca: pembaca buku) membaca buku di tempat ramai. Tapi keriuhan lingkungan justru membuat sakralitas membaca buku jadi tak khidmat lagi. Pendek kata, energi kami akan terkuras sebab membutuhkan dua kali energi untuk menjaga kefokusan.
Cupu bin culun
      Pembaca buku juga sering dianggap memiliki pribadi yang culun. Seorang kutu buku sering dinilai payah dan cemen. Banyak orang mengira bahwa membaca buku hanyalah hobi orang-orang lemah, milik orang-orang ringkih. Asumsi demikian tentu saja muncul dari serial emtertainment yang ditampilkan di layar kaca televisi. Saya sering menemukan, para pembaca buku di TV digambarkan sebagai sosok yang cupu, berkacamata, berponi dan bullyable. Padahal nggak seperti itu. Justru pembaca buku adalah orang-orang yang memiliki integritas tinggi baik itu dalam perilaku dan pola pikirnya. Para pembaca buku adalah orang-orang kuat. Bapak pendiri bangsa ini adalah para bookish akut. Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir dan sebagainya. Mereka adalah sesepuh bangsa yang hobi membaca buku. Apa kalian mengira bahwa buku Madilog bukan wujud keberanian? Apa kalian menganggap buku Di Bawah Bendera Revolusi adalah bukti kecupuan? Bukan. Buku-buku tersebut adalah bentuk kepahlawanan. Hanya saja, banyak orang tak paham dan dengan mudahnya menilai para pembaca memiliki pribadi yang lemah.
Madesu
      Ini yang paling memuakkan. Saya melihat, banyak orang menilai kegiatan membaca buku sebagai kegiatan yang tak berguna. Membaca buku hanyalah kegiatan buang-buang waktu dan nggak produktif, membaca buku hanyalah kegiatan pasif yang tak memiliki dampak besar. Begitu orang awam menilai. Dari situ, muncullah asumsi bahwa para pembaca buku memiliki masa depan yang suram. Sebab ia banyak menghabiskan waktu hanya dengan duduk, sedang orang di luar sana sibuk bekerja ke sana-kemari.
      Satu hal yang perlu diketahui bahwa para pemmbaca buku bukan hendak mencipta sesuatu di luar dirinya. Ia membangun satu komponen yang diasah dalam wujud olah berpikir. Hal ini yang barangkali dinilai oleh orang sebagai tindakan pasif dan tidak menghasilkan. Dalam pandangan orang modern, kriteria menghasilkan harus terwakili dengan adanya "materi" yang terwujud sebagai output-nya. Sehingga mengabaikan gerak-gerak pasif seperti membaca buku dan dinilai tidak produktif.
Teoritis minim aksi
      Para pembaca buku sering kali dianggap sebagai pribadi yang menyebalkan karena terlampau teoritis. Banyak orang menilai, orang yang hobi baca buku hanyalah orang-orang yang jago omong tapi minim tindakan. Maka tak heran rasanya kenapa orang-orang seperti ini akan dinilai bullshit dalam setiap kata yang yang dilontarkan. Kalian perlu memahami satu hal kenapa para pembaca buku terlihat pasif dan nggak banyak gerak. Para pembaca buku memiliki satu dimensi berpikir yang berbeda dari orang yang bukan pembaca. Mereka lebih berhati-hati dalam memutuskan sebuah tindakan. Dari sini, para pembaca sering tidak grusa-grusu untuk melakukan sesuatu. Mereka harus menimbang banyak hal sebelum melakukan tindakan. Ini yang tak banyak diketahui orang awam, mereka selalu saja menilai apa yang disampaikan oleh pembaca buku hanyalah omong kosong. Padahal tidak demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H