Ikat merupakan siloka Ma'rifat bahwa manusia itu di ciptakan dari empat Anasir yaitu Ajining Tanah, Ajining Api, Ajining  Bayu (Angin), dan Ajining Banyu (Air). Bentuk ikat segi empat yang kemudian dilipat menjadi segi tiga. Lipatan segi tiga tersebut mengandung arti bahwa manusia itu harus baik dan selaras antar tekad, ucap, dan lampahnya (Prilaku). Ketiga hal tersebut dapat dikatakan Tritangtu dan Tritunggal yang artinya dari ketiga tersebut harus manunggal (Menyatu) sehingga dapat terwujud terhadap tujuannya.
Karena apabila dari ketiga tersebut tidak menyatu atau manunggal maka segala sesuatu yang dituju tidak akan tercapai. Analoginya sangat sederhana sekali. Dapat kita lihat dari diri kita sendiri ada yang disebut Raga, Rasa, Dan sukma (Yang menghidupi). Apabila ada Raga dan Rasa akan tetapi tidak ada Sukma atau yang menghidupi, itu artinya kita ini "mayat". Selanjutnya apabila ada Raga dan Sukma akan tetapi tidak ada Rasa, itu artinya "Orang Gila". Dan yang terakhir yaitu apabila ada Rasa dan Sukma, tapi tidak ada Raga maka itu artinya "Jurig/Setan/Ghaib".
Oleh karena itu dari ketiga korelasi yang tadi kita bahas itu harus gulangkep (menyatu) yang apabila di dalam kehidupan yaitu Tekad, Ucap, dan Lampah (Aksi). Setelah ikat tersebut sudah menjadi segi tiga, lalu di ikatkan ke kepala. Siloka di ikatkan ke kepala itu adalah supaya terikat di dalam pikiran atau teringat bahwa ada hawa dan nafsu yang di ikat di dalam pikiran. Selain itu juga mungkin banyak siloka-siloka lainnya dari Ikat Sunda tersebut.
Yang saya ketahui iket kepala itu sangat banyak ragam modelnya dan setiap model bentuknya itu memiliki siloka dan karakternya masing-masing. Ada yang disebut Candra Sumirat, Hanjuang Nanjung, Tutup Liwet, Parekos Jengkol, Parekos Nangka, Barangbang Semplak, Makuta Wangsa, Maung Leumpang, Batu Kincir, Manca Putra, dan lain-lain.
Sebagai orang Sunda tentunya harus bangga sekali karena iket ini merupakan salah satu ciri khasnya orang Sunda dan tentunya hal ini sudah menjadi kearifan lokal. Iket juga dikenal dengan Papat (Opat) Kalima Pancer karena tadi ikat itu memiliki empat sisi dan satu persegi empat ditengah adalah iket yang menggambarkan ajining (sumber), jati diri yang ada pada setiap diri kita yaitu tanah, api, air, angin, dan udara serta diri.
Dari sini kita dapat melihat bahwa iket itu bukan asal-asalan di pakai melainkan mengandung makna yang mendalam dan nilai filosofi tersendiri. Selain itu juga iket mempunyai nilai keindahan dan fungsi menunjukan kedudukan sosial seseorang.Â
Tanah merupakan asal mula kita diciptakan dari tanah dan hidup bahkan seluruh yang kita makan itu ialah dari hasil bumi.Â
Api merupakan sumber amarah dan keganasan maka dari itu kita harus mampu membendamnya.
Air mengartikan bahwa kita itu harus senantiasa rendah hati atau tawadhu (Handap Asor).
Udara  dapat kita rasakan namun tidak dapat kita lihat yang artinya dapat memberikan kesejukan terhadap sesama.
Diri lebih kepada hubungan kita terhadap sang pencipta.
Hubungan dengan sang Pencipta itu kalau dalam Islam disebutnya adalah hablum minallah (hubungan dengan Allah). Sedangkan yang empat itu adalah untuk kehidupan dengan sesama dikenal dengan hablum minannas (hubungan dengan manusia). Maka dari itu ada suatu pepatah mengatakan "Iket mah lamun kurang ulah di tambahan, lamun leuwih ulah dikurangan" harus seadanya karena memotong makna daripada iket tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H