Mohon tunggu...
Asep Gunawan
Asep Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Baru-baru ini suka membaca dan mengerjakan soal matematika dasar (setelah menonton COC Ruang Guru). Suka traveling dan menguasai Bahasa Inggris dan Turki.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Tam dan Anak-anak Panti - Part 1 (Tam)

7 September 2024   01:39 Diperbarui: 2 Oktober 2024   00:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Hujan deras membasahi jalanan Jakarta malam itu. Kota yang biasanya riuh rendah kini sepi, hanya suara rintik hujan yang terdengar bersahutan dengan gemuruh petir sesekali. Di sebuah sudut kota, tepatnya di Jalan Suropati nomor 15, berdiri kokoh sebuah bangunan tua bergaya kolonial. Papan nama yang terpasang di gerbang depan bertuliskan "Panti Asuhan Bunda Mulia" dengan cat yang mulai mengelupas dimakan usia.

Suster Metha, wanita paruh baya dengan wajah lembut namun tegas, berjalan tergesa menuju gerbang depan. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 21:00 malam. Sudah waktunya mengunci gerbang panti, rutinitas yang selalu ia lakukan setiap malam sebelum beristirahat.

Namun malam itu berbeda. Ketika tangannya hendak meraih gembok gerbang, telinganya menangkap suara tangisan samar-samar. Awalnya Suster Metha mengira itu hanya ilusinya saja, mungkin efek dari suara hujan yang tak kunjung reda. Tapi suara itu semakin jelas terdengar.

Dengan hati-hati, Suster Metha melangkah keluar gerbang, matanya menyapu area sekitar. Dan di sanalah ia menemukannya -sebuah kardus yang dibungkus plastik hitam, tergeletak begitu saja di depan gerbang panti. Tangisan itu berasal dari dalam kardus tersebut.

Dengan tangan gemetar, Suster Metha membuka plastik hitam yang membungkus kardus itu. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi mungil terbaring di dalamnya, menangis kedinginan dan kelaparan. Tanpa pikir panjang, Suster Metha menggendong bayi itu dan berlari masuk ke dalam panti, mengabaikan hujan yang membasahi tubuhnya.

"Ibu Lauren! Ibu Lauren!" teriak Suster Metha sambil menggedor pintu kantor kepala panti.

Ibu Lauren, wanita berusia 60 tahun dengan rambut beruban yang selalu disanggul rapi, membuka pintu dengan wajah kebingungan. "Ada apa, Suster Metha? Kenapa kau basah kuyup begini?"

Suster Metha, dengan nafas terengah-engah, menjelaskan situasinya sambil menunjukkan bayi yang kini ada dalam gendongannya. Ibu Lauren terdiam sejenak, matanya menatap nanar pada bayi mungil yang masih menangis itu.

"Astaga, kasihan sekali. Mari kita urus dia dulu," ujar Ibu Lauren akhirnya, membawa Suster Metha dan si bayi ke ruang perawatan panti.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagi penghuni Panti Asuhan Bunda Mulia. Para suster bergantian merawat si bayi yang akhirnya diberi nama Tam-singkatan dari "Terlantar dan Malang"-oleh Ibu Lauren. Tidak ada identitas atau petunjuk apapun yang ditinggalkan bersama Tam. Hanya selembar kertas lusuh bertuliskan "Rawatlah dia dengan kasih sayang" yang ditemukan di dalam kardus.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tam tumbuh menjadi anak laki-laki yang cerdas dan penuh semangat. Di usianya yang baru menginjak lima tahun, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam menggambar dan bermain musik. Setiap hari, lorong-lorong Panti Asuhan Bunda Mulia dipenuhi tawa riang Tam yang berlarian, atau alunan merdu permainan pianika tuanya.

Namun di balik senyum cerahnya, Tam menyimpan sejuta tanya. Seiring bertambahnya usia, ia mulai menyadari bahwa dirinya berbeda dari anak-anak lain di panti. Sementara yang lain masih memiliki kenangan samar tentang orang tua mereka, atau setidaknya tahu alasan mengapa mereka bisa berakhir di panti, Tam sama sekali tidak memiliki petunjuk tentang asal-usulnya.

Suatu malam, ketika usianya genap sepuluh tahun, Tam memberanikan diri untuk bertanya pada Suster Metha. "Suster, mengapa saya bisa ada di sini? Apakah orang tua saya tidak menginginkan saya?"

Pertanyaan polos itu menghujam tepat di hati Suster Metha. Ia memeluk Tam erat, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. "Tam sayang, kamu adalah anak yang sangat istimewa. Tuhan memiliki rencana besar untukmu. Mungkin sekarang kamu belum bisa memahaminya, tapi suatu hari nanti, semua akan jelas."

Jawaban itu tidak memuaskan rasa penasaran Tam, tapi ia tahu bahwa Suster Metha-lah yang selama ini merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tam membalas pelukan Suster Metha, membiarkan kehangatan itu menyelimuti hatinya yang gundah.

Waktu terus bergulir, dan Tam kini telah tumbuh menjadi remaja berusia lima belas tahun. Bakatnya dalam seni semakin terasah. Lukisan-lukisannya bahkan pernah dipamerkan dalam sebuah galeri kecil di pusat kota Jakarta, hasil dari program pembinaan bakat yang diikutinya di sekolah.

Namun, semakin ia beranjak dewasa, semakin kuat pula keinginannya untuk mengetahui identitas aslinya. Siapa orang tuanya? Mengapa mereka membuangnya? Apakah mereka masih hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, memenuhi setiap sudut pikirannya.

Suatu hari, ketika sedang membersihkan gudang panti sebagai bagian dari tugas rutinnya, Tam menemukan sebuah kotak kardus usang yang tampak familiar. Jantungnya berdegup kencang. Apakah ini...?

Dengan tangan gemetar, Tam membuka kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan selembar kertas lusuh- kertas yang sama dengan yang ditemukan bersamanya lima belas tahun lalu. Namun kali ini, Tam melihat sesuatu yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di balik kertas itu, tertulis sebaris kalimat yang nyaris tak terbaca:

"Maafkan kami, Nak. Suatu hari, kami akan menjemputmu kembali. Tunggu kami di tempat ini pada tanggal 31 Desember 2024."

Tam terduduk lemas, air matanya mengalir deras. Tanggal itu... tepat beberapa bulan lagi. Apakah ini artinya ia akan segera bertemu dengan orang tua kandungnya? Apakah mereka benar-benar akan datang? Dan jika mereka datang, akankah Tam siap untuk bertemu dengan mereka?

Berbagai emosi berkecamuk dalam diri Tam. Antara harapan dan ketakutan, antara keinginan untuk bertemu dan kemarahan atas abandonment yang ia alami. Haruskah ia memberitahu Suster Metha dan Ibu Lauren tentang hal ini? Atau sebaiknya ia simpan sendiri rahasia ini?

Sementara Tam tenggelam dalam pikirannya, suara Suster Metha terdengar memanggilnya dari kejauhan. "Tam! Waktunya makan malam!"

Tam cepat-cepat melipat kertas itu dan menyimpannya di saku celananya. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju ruang makan, pikirannya masih dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi seminggu ke depan.

Malam itu, Tam berbaring di tempat tidurnya, matanya menatap langit-langit kamarnya yang sudah familiar. Suara dengkuran halus teman-teman sekamarnya menjadi latar belakang bagi pergolakan batinnya. Ia memejamkan mata, mencoba untuk tidur, namun bayangan tentang pertemuan yang mungkin terjadi terus menghantuinya.

Akankah tanggal 31 Desember membawa jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini menggelayuti hidupnya? Atau justru akan membuka luka baru yang lebih dalam? Tam tidak tahu. Yang ia tahu, hidupnya mungkin akan berubah selamanya dalam hitungan minggu. Dan ia, entah siap atau tidak, harus menghadapinya.

Bersambung ......

Rahasia tersembunyi menanti untuk diungkap. Beranikan diri untuk mengklik dan lanjutkan perjalananmu!

Tam dan Anak-anak Panti - Part 2

Sudah terbawa suasana? Temukan cerita menarik lainnya di bawah ini!

Terjebak di Stasiun Masa Lalu

Takdir yang Terlambat Dipahami

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun