Mohon tunggu...
Asep Gunawan
Asep Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Baru-baru ini suka membaca dan mengerjakan soal matematika dasar (setelah menonton COC Ruang Guru). Suka traveling dan menguasai Bahasa Inggris dan Turki.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Takdir yang Terlambat Dipahami

1 Agustus 2024   13:21 Diperbarui: 1 Agustus 2024   13:44 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ekna menatap kosong ke arah foto besar yang terpajang di dinding ruang tamu. Wajah sang ayah tersenyum hangat, seolah masih hidup dan baru saja pulang dari kantor. Namun kenyataannya, sudah tiga tahun berlalu sejak kepergian ayahnya yang mendadak akibat serangan jantung.

"Kenapa harus Ayah?" bisik Ekna lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kenapa bukan Ibu saja?"

Pikiran itu kembali menghantui benaknya. Rasa bersalah selalu menyergap setiap kali ia berpikir demikian, tapi Ekna tak bisa menahan diri. Di matanya, sang ayah adalah sosok yang tak tergantikan - tulang punggung keluarga, sosok yang selalu ia kagumi, dan pelindung yang tak tergantikan.

Sementara ibunya... Ekna mendengus pelan. Yang ia lihat hanyalah seorang wanita yang hanya menghabiskan waktunya di rumah, memasak, bersih-bersih, dan gemar berbelanja menghabiskan uang hasil kerja keras ayahnya. Pekerjaan yang menurutnya bisa dilakukan siapa saja.

"Ekna, ayo makan malam," suara lembut ibunya terdengar dari arah dapur.

Dengan enggan, Ekna beranjak ke meja makan. Aroma masakan ibunya yang biasanya menggugah selera kini terasa hambar di lidahnya. Ia menyantap makanannya dalam diam, sementara sang ibu mencoba memulai percakapan.

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Nak?"

"Biasa saja," jawab Ekna singkat, tanpa mengangkat wajahnya dari piring.

Ibu Ekna menghela nafas panjang. "Ibu tahu kamu masih bersedih, Nak. Ibu juga merasakan hal yang sama. Tapi kita harus terus melanjutkan hidup. Ayahmu pasti tidak ingin melihat kita terus larut dalam kesedihan."

Ekna mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan tatapan dingin. "Ibu tidak mengerti. Ayah... Ayah adalah segalanya. Tanpa Ayah, kita bukan apa-apa."

Kata-kata itu menusuk hati sang ibu, namun ia tetap tersenyum lembut. "Kita masih punya satu sama lain, Ekna. Dan itu sudah cukup."

Waktu berlalu, namun luka di hati Ekna tak kunjung sembuh. Ia semakin menjauh dari ibunya, tenggelam dalam dunianya sendiri yang dipenuhi kesedihan dan penyesalan.

Hingga suatu hari, tanpa sengaja Ekna menemukan sebuah kotak tua di lemari ibunya. Di dalamnya terdapat tumpukan surat dan foto-foto lama. Dengan penasaran, ia mulai membaca satu per satu surat tersebut.

Air mata Ekna mengalir deras saat membaca tulisan tangan ayahnya. Surat-surat itu berisi ungkapan cinta dan terima kasih kepada sang istri yang telah berjuang bersama dalam membangun keluarga. Ayahnya menulis betapa ia mengagumi kekuatan dan ketabahan istrinya dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

"Tanpamu, aku bukan apa-apa," tulis sang ayah di salah satu suratnya. "Kaulah yang memberi arti pada hidupku, yang membuatku ingin menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya."

Ekna terduduk lemas, isak tangis mulai memenuhi kamarnya. Ia baru menyadari betapa keliru penilaiannya selama ini. Ibunya bukanlah sosok lemah yang hanya bisa bergantung pada ayahnya. Ia adalah pilar kekuatan yang tak terlihat, yang selalu ada untuk mendukung dan menjaga keutuhan keluarga mereka.

Dengan tangan gemetar, Ekna mengambil selembar foto lama. Di sana terlihat ayah dan ibunya yang masih muda, tersenyum bahagia dengan latar belakang rumah sederhana. Di balik foto itu tertulis: "Awal dari segalanya. Berdua, kita akan membangun istana cinta kita."

Hati Ekna remuk. Selama ini ia telah menyia-nyiakan kasih sayang ibunya, mengabaikan pengorbanan dan perjuangannya. Ia telah menutup mata dari kenyataan bahwa ibunya juga merasakan kehilangan yang sama, bahkan mungkin lebih dalam.

Dengan langkah gontai, Ekna keluar dari kamar dan mencari ibunya. Ia menemukan wanita itu sedang menyiram tanaman di halaman belakang, sinar mentari sore menyinari wajahnya yang mulai dihiasi kerutan.

"Ibu," panggil Ekna lirih.

Sang ibu menoleh, tersenyum lembut seperti biasa. "Ada apa, Nak?"

Tanpa berkata-kata, Ekna berlari dan memeluk ibunya erat-erat. Air matanya tumpah, membasahi bahu wanita yang selama ini ia abaikan. "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku..."

Ibu Ekna, meski terkejut, balas memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. "Tidak apa-apa, Sayang. Ibu mengerti."

"Aku... aku salah, Bu," isak Ekna. "Selama ini aku tidak menghargai Ibu. Aku pikir... aku pikir..."

"Sssh," sang ibu membelai lembut rambut Ekna. "Yang penting kamu sudah mengerti sekarang. Ibu akan selalu menyayangimu, apapun yang terjadi."

Sore itu, untuk pertama kalinya sejak kepergian sang ayah, Ekna merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Ia menyadari bahwa takdir Tuhan tidaklah pernah salah. Mungkin ayahnya telah pergi, tapi ia masih memiliki sosok yang tak kalah berharga - seorang ibu yang kuat, penyayang, dan selalu ada untuknya.

"Bu," ucap Ekna di sela isak tangisnya. "Terima kasih sudah bertahan. Terima kasih sudah menjadi ibu terbaik untukku."

Sang ibu tersenyum, air mata haru mengalir di pipinya. "Terima kasih sudah kembali pada Ibu, Nak. Yakinlah, kita bisa melewati ini bersama-sama "

Sejak hari itu, Ekna berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih menghargai keberadaan ibunya. Ia mulai membuka hatinya, belajar melihat kekuatan dan kasih sayang yang selama ini tersembunyi di balik kesederhanaan sosok seorang ibu.

Takdir memang kadang sulit dipahami, tapi Ekna kini mengerti bahwa di balik setiap kejadian, selalu ada hikmah yang dapat dipetik. Dan baginya, memiliki ibu yang masih hidup di sampingnya adalah anugerah terindah yang patut disyukuri setiap hari.

Biodata Singkat Penulis

Nama: Asep Gunawan

Email: gunawanpunyaemaildi@gamail.com

IG: 69itsmegunawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun