Waktu berlalu, namun luka di hati Ekna tak kunjung sembuh. Ia semakin menjauh dari ibunya, tenggelam dalam dunianya sendiri yang dipenuhi kesedihan dan penyesalan.
Hingga suatu hari, tanpa sengaja Ekna menemukan sebuah kotak tua di lemari ibunya. Di dalamnya terdapat tumpukan surat dan foto-foto lama. Dengan penasaran, ia mulai membaca satu per satu surat tersebut.
Air mata Ekna mengalir deras saat membaca tulisan tangan ayahnya. Surat-surat itu berisi ungkapan cinta dan terima kasih kepada sang istri yang telah berjuang bersama dalam membangun keluarga. Ayahnya menulis betapa ia mengagumi kekuatan dan ketabahan istrinya dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
"Tanpamu, aku bukan apa-apa," tulis sang ayah di salah satu suratnya. "Kaulah yang memberi arti pada hidupku, yang membuatku ingin menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya."
Ekna terduduk lemas, isak tangis mulai memenuhi kamarnya. Ia baru menyadari betapa keliru penilaiannya selama ini. Ibunya bukanlah sosok lemah yang hanya bisa bergantung pada ayahnya. Ia adalah pilar kekuatan yang tak terlihat, yang selalu ada untuk mendukung dan menjaga keutuhan keluarga mereka.
Dengan tangan gemetar, Ekna mengambil selembar foto lama. Di sana terlihat ayah dan ibunya yang masih muda, tersenyum bahagia dengan latar belakang rumah sederhana. Di balik foto itu tertulis: "Awal dari segalanya. Berdua, kita akan membangun istana cinta kita."
Hati Ekna remuk. Selama ini ia telah menyia-nyiakan kasih sayang ibunya, mengabaikan pengorbanan dan perjuangannya. Ia telah menutup mata dari kenyataan bahwa ibunya juga merasakan kehilangan yang sama, bahkan mungkin lebih dalam.
Dengan langkah gontai, Ekna keluar dari kamar dan mencari ibunya. Ia menemukan wanita itu sedang menyiram tanaman di halaman belakang, sinar mentari sore menyinari wajahnya yang mulai dihiasi kerutan.
"Ibu," panggil Ekna lirih.
Sang ibu menoleh, tersenyum lembut seperti biasa. "Ada apa, Nak?"
Tanpa berkata-kata, Ekna berlari dan memeluk ibunya erat-erat. Air matanya tumpah, membasahi bahu wanita yang selama ini ia abaikan. "Maafkan aku, Bu. Maafkan aku..."