Saat itu kulihat Tito membeli peralatan baru, sebuah tenda dom dengan kapasitas 4 atau 5 orang. Yang dirasakan berbeda, ekpresinya begitu senang dan sangat baik, dia seperti tidak sabar menunggu-nunggu dalam acara pelantikan ini. Pertanda apa ini. Sudahlah aku abaikan saja saat itu. Lalu mulailah hari yang ditunggu. 19 Oktober kami berangkat dengan truk TNI ke Gunung Bunder, Suka Bumi, Jawa Barat dengan membawa calon anggota 15 orang, bersama panitia dan alumni seluruhnya berjumlah kira-kira 30 orang.
Perjalanan memakan waktu 4-5 jam. Tiba di gunung bunder kami beristirahat sebentar untuk mempersiapkan diri. Berselang 20 menit. Kami mulai menapaki jalur menuju kawah hirup kaki gunung salak. Tiba di kawah hirup pada sore hari, aku tidak tahu betul pukul berapa saat itu. Kami putuskan untuk berkemah disitu. Memang disitu tempat yang sudah termasuk dalam jadwal acara kami. Hampir tidak ada yang perubahan dalam jadwal acara tersebut.
Malam hari di kawah hirup, kegiatan berjalan pada tahap pemulihan fisik masing-masing peserta yaitu makan, minum, merokok (bagi perokok), memakai baju hangat, dan tidak lupa diselingi canda dan tawa. Calon anggota diberi aturan hanya tidur di bivac yang terbuat dari ponco yang mereka bawa. Ini adalah salah satu ujian mereka.
Aku ingat betul Tito begitu senang disana, dia seperti mengalami suasana hati yang sangat senang. Tertawa lepas. Berteriak. Hal yang berbeda yang aku rasakan selama aku melakukan pendakian bersamanya. Pertanda apa ini, aku abaikan lagi. Mungkin Cuma masalah sepele.
Keesokan harinya, 20 Oktober 1996. Waktu menunjukan sekitar pukul 5 pagi. Semua peserta melakukan sholat subuh berjamaah. Termasuk tito sebagai seorang muslim. Diakhir sholat teman-teman segera kembali pada tendanya masing-masing serta berencana mempersiapkan diri menyiapakan acara berikutnya. Aku masih melihat Tito, bersama salah seorang peserta sholat yang masih duduk disana. Dzikir dan doanya cukup lama, terlihat kusyu sekali rasanya. Sepertinya banyak sekali doa-doa yang ia panjatkan. Keinginan-keinginan yang belum tercapai. Harapan-harapan masa depan dalam dirinya. Dan tentunya penghapusan dosa-dosa yang ia miliki sebagai manusia biasa. Serta limpahan pahala dari Yang Maha Kuasa.
Saat itu waktu menunjukan sekitar 7.30 pagi. Matahari sudah menyembul menyirami sinarnya. Hangat sinarnya menusuk kulit. Teman-teman panitia sudah siap dengan perut yang kenyang. Peralatan penyeberangan kering disiapkan. Tali dinamis sepanjang kira-kira 30 meter dibawa ke danau yang ada dekat disana.
Aku, bersama sebagian besar teman panitia turun ke arah danau. Dalam kondisi kami persiapkan kegiatan itu, Tito bersama senior kelas 3 masih ditenda, saat itu ia ingin buang air besar. Lalu ia menuju arah batu kapur lebih tinggi ke arah selatan. Kira-kira 5 meter dari tendanya dia menemukan ceruk lubang dalam disana. Pikirnya mungkin cocok untuk buang air besar disana, karena tidak terlihat oleh siapa pun.
Tanpa menunggu lama duduk ia disana untuk membuang hajat yang tidak tertahankan. Padahal sebelumnya, ia telah diperingatkan terlebih dulu oleh Bang Sahro (alumni dari exispal) untuk tidak membuang hajat disana. Lebih baik dia mencari semak-semak. Tapi peringatan itu tidak digubrisnya. Pikirnya itu hanya persoalan sepele.
Berselang beberapa menit. Adit (salah satu senior kelas 3), memanggil tito dengan alasan bahwa dia diperlukan untuk suatu hal, tapi teriakkannya tak dijawab. Sekeras-kerasnya Adit berusaha memanggil kembali namanya. Tapi juga tak ada jawaban. Adit melihat bahwa adanya tanda-tanda aneh terhadap Tito. Awalnya posisi duduk Tito dengan menghadap ke arah tenda kami berada dimana dari arah tenda kepalanya masih terlihat jelas. Tapi kali ini kepalanya sudah tidak tampak.
Akhirnya, setelah panggilan yang kesekian kalinya dengan diikuti rasa tidak sabar teman-teman. Salah satu senior naik ke atas menuju ke arah tito berada. Setelah sampai, tak disangka, posisi tito tertelungkup ke depan. Ia dalam kondisi pingsan dengan keadaan masih seperti membuang hajat. Akhirnya teman-teman menggotongnya ke dalam tenda. Teman-teman panitia yang sedang membuat alat penyebrangan basah segera dipanggil, dikabarkan bahwa, “Tito pingsan…Tito pingsan…!”
Kami yang dibawah segera menuju ke arah camp. Disana sudah berkumpul beberapa orang panitia tapi tidak termasuk peserta dari calon anggota. Hal ini dirahasiakan agar mereka tidak kaget atau shock mendengar situasi ini. Para senior berusaha menenangkan kami dalam situasi yang tidak diduga ini meskipun aku yakin mereka semua dalam keadaan hati yang bergemuruh.
Hatiku sendiri merasa tidak tenang melihat keadaan Tito yang pingsan. Ketidak tenangan ini bertambah saat mengetahui kondisi bahwa diantara kami tidak ada yang mengetahui teknik P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan) dengan benar. Kami hanya mengolesi hidung, dahinya dengan obat masuk angin atau balsem. Aku pikir, mereka termasuk diriku tidak tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan Tito saat itu. Karena tidak ada yang bisa mendiagnosa dengan pasti sebab dan akibat yang terjadi dengan Tito.