Saya masih ingat suatu waktu, hampir lima jam saya masuk di Gramedia, hanya untuk melirik isi-isi buku. Belinya hanya satu buku saja. Itu pun yang harganya ramah di kantong. Hehehe. Saya betul-betul memanfaatkan waktu kala itu, mumpung masih bisa menimba ilmu di kota yang fasilitas, menurut saya, sudah over, dibanding di kampung saya.
Teman-teman (adik-adik saya) juga yang konon, menurut guru-gurunya ketika masih duduk di bangku sekolah malas membaca. Jangankan membaca, sekolah saja acap kali bolos. Namun, ketika sudah menimba ilmu di kota Makassar yang di mana terdapat berbagai macam bahan bacaannya, bahkan sudah "mubazir", minat baca mereka sangat tinggi. Ya, mereka selalu membaca buku.
Belum lagi kalau teman-teman tersebut berkunjung ke kos temannya yang memiliki koleksi buku, pasti mereka akan mencicipinya (membacanya). Hal ini juga, pernah saya berdiskusi dengan teman-teman dari berbagai daerah. Tentunya, sama-sama anak rantauan yang menimba ilmu di kota Daeng tersebut. Mereka pun mengatakan demikian. Di kampung mereka fasilitas (bahan bacaan) masih minim. Namun, ketika mereka menimba ilmu di kota Anging Mamiri tersebut, mereka juga kaget. Tiba-tiba selera mereka terhadap buku semakin terasa. Mereka sangat suka sekali dengan aktivitas membaca.
Nah, dari cerita singkat saya ini, sudah tentu bahwa fasilitas itu sangat penting. Bila fasilitas seperti yang dimaksud di atas merata sampai ke pelosok tanah air, desa-desa terisolir, maka tidak ada lagi masyarakat yang "buta huruf." Minat baca masyarakat pun semakin meningkat. Percayalah!
Wallahu a'lam.
Oleh: Gunawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H