Mohon tunggu...
Yohannes Babtis Gunawan
Yohannes Babtis Gunawan Mohon Tunggu... -

Saya seorang penulis (drama radio, cerita, infotainment, cerpen) yang saat ini bekerja di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta. Saya selalu terkesima dengan penulis yang mampu mengangkat hal-hal yang sederhana, remeh temeh, menjadi tulisan yang sarat nilai dan inspiratif.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebo Wuruk = Kerbau terpelajar

4 Februari 2010   03:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reaksi Presiden SBY atas demo kerbau Si Bu Ya justru menjadi serangan balik yang menyakitkan buat Sang Presiden. Komentar SBYtentang Si Bu Ya yang dianggapnya bermuatan penghinaan terhadap dirinya sebagai orang yang gemuk, bodoh dan malas seperti kerbau, justru jadi santapan empuk bagi orang-orang yang tak percaya lagi dengan kepemimpinan SBY untuk “menyerang” secara massif. Alih-alih ingin mengingatkan para pendemo agar punya etika, SBY justru dicerca sebagai presiden yang pengeluh dan cengeng.

Bukan sekali ini saja ucapan SBY justru jadi bumerang buat dirinya sendiri, dan yang mengherankan blunder-blunder itu terus terjadi. Dalam pemerintahan jilid duanya, Presiden SBY membentuk tim yang gemuk (tak ada hubungannya dengan kerbau), ada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), ada wakil-wakil menteri, namun nampaknya SBY lupa untuk membentuk “Dewan Ucapan Presiden”, yang bertanggung jawab untuk mengedit serta merangkai kata-kata yang harus keluar dari mulut seorang Presiden . Supaya ucapan presiden menjadi bernas dan cerdas. Supaya tak ada celah bagi orang untuk menyerang balik, dan kalau perlu justru akan membungkam para pengritiknya dengan cara yang elegan.Dalam perspektif komunikasi politik, apa yang dilakukan SBY akhir-akhir ini jelas tak menunjukkan cara komunikasi politik yang cerdik. SBY mengirim pesan agar demonstrasi sebagai bagian demokrasi harus beretika, tetapi rakyat justru menangkap pesan itu sebagi “keluhan” dan “kecengengan”.

Presiden SBY berkali-kali menyebut dirinya tidak anti kritik, namun tak ada salahnya untuk mengcounter kritik-kritik yang batasnya hanya setipis rambut dengan pelecehan supaya pemerintahannya berwibawa. Dalam sejarah, nampaknya baru kali ini foto presiden ditempelkan di pantat kerbau. Bukti bahwa wibawa pemerintah benar-benar berada di titik nadir. Sulit dibayangkan demo kerbau-kerbauan itu terjadi di zaman Soeharto. Bayangkan apa yang terjadi kalau foto Pak Harto ditempelkan di pantat kerbau ketika Pak Harto masih berkuasa? Bisa-bisa JosefRizal sudah dikerbaukan, “disembelih” dan pulang tinggal nama. Dari sisi ini, kita masih bisa bersyukur punya presiden yang masih amat toleran kepada pihak-pihak yang melecehkan kewibawaan pemerintah. Walau masih toleran terhadap para pendemo namun di sisi lain SBY terlalu reaktif terhadap para pengkritiknya. Sikap reaktif dan negatif itulah yang ditunggu oleh para pengkritiknya karena akan menjadi mesiu untuk kembali menghantam SBY.

Bung Karno pernah mengatakan “jangan pernah melupakan sejarah”. Sejarah mencatat bahkan dalam zaman feodal sekalipun sudah dikenal demokrasi. Dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa dikenal“tapa pepe”, berjemur di bawah terik matahari di alun-alun keraton. Tapa pepe menjadi wahana bagi rakyat untuk memprotes kebijakan raja yang merugikan dirinya. Para pelaku tapa pepe pasti terlihat dari Siti Hinggil (singgasana raja yang tempatnya dibuat tinggi supaya bisa mengawasi segala aktifitas di alun-alun). Raja akan memanggil rakyatnya yang melakukan laku pepe(pendemo) untuk didengar keluhannya. Pendemo melakukannya dengan santun (gerakan moral) dan raja menanggapinya dengan arif bukannya malah pura-pura tak melihat atau malah memilih “kabur” dari istana. Sejarah mengajarkan bagaimana seharusnya rakyat dan penguasa berkomunikasi

Sejarah juga mencatat bahwa Kerajaan Majapahit mencapai kejayaannya ketika dipimpin oleh “duo binatang” Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Hayam Wuruk berarti ayam yang terpelajar. Daripada SBY mengeluh disamakan dengan kerbau yang gemuk, lamban, malas dan bodoh,kenapa SBY tak bilang saja saya ini Kebo Wuruk (Kerbau yang terpelajar)? Saya akan membawa kalian para gudel (anak kerbau) rakyatku menjadi gudel yang makmur dan terpelajar.Saya akan bekerja keras untuk mengenyangkan perut kalian. Saya akanmenjaga kalian para gudel dari semua singa yang mewujud rupa dalam bentuk perdagangan bebas Asean –China . Saya akan membuat kalian para gudel menjadi kerbau bertanduk besar yang sanggup menghadapi terkaman “sang singa china”. Saya akan bekerja keras seperti kerbau tanpa banyak mengeluh demi gemah ripahnya negeri ini….karena saya ….KEBO WURUK.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun