Mohon tunggu...
GUNAWAN
GUNAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru ASN

Guru desa melakukan apa saja agar otak tidak beku.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Thrifting Aja, Gak Usah Flexing

3 April 2023   00:01 Diperbarui: 9 April 2023   20:33 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boot cewek hasil thrifting. (Photo koleksi pribadi)

"There's no way that Michael Jackson or whoever Jackson should have a million thousand droople billion dollars and then there's people starving. There's no way! There's no way that these people should own planes and there people don't have houses. Apartments. Shacks. Drawers. Pants! I know you're rich. I know you got 40 billion dollars, but can you just keep it to one house? You only need ONE house. 

And if you only got two kids, can you just keep it to two rooms? I mean why have 52 rooms and you know there's somebody with no room?! It just don't make sense to me. It don't."

(Celaan rapper Tupac Shakur terhadap gaya hidup mewah mega-star Michael Jackson)

ADA dua kata yang akhir-akhir ini sering muncul di percakapan lisan maupun di dunia maya atau komunikasi elektronik. Baik secara antar pribadi atau dimunculkan ke hadapan publik. Kata itu adalah thrifting dan flexing. Of course, itu dua kata dari Bahasa Inggris.

Kata-kata itu jadi nge-trend gara-gara ada dua kejadian yang sedang ramai di masyarakat dan tentu biasanya juga menimbulkan silang opini di berbagai kalangan. 

Kedua kata ini sebenarnya bukan istilah yang muncul baru-baru ini. Kalau kalian pingin lihat artinya, kalian bisa buka kamus Bahasa Inggris apa saja. Pasti ketemu. Tapi boleh juga sedikit saya bantu cari.

Kita mulai kata pertama, thrifting. Kata thrift kalau saya buka di kamus Miriam-Webster bersynonym : careful management especially of money artinya lebih kurang : pengaturan secara seksama terutama dalam masalah uang. Singkatnya, berhemat.

Kata kedua flexing. Masih di Miriam-Webster Dictionary saya temukan kata kerja flex informal synonymnya: to make an ostentatious display of something. Mudahnya, berbuat pamer.

Kata pertama, thrifting, kali ini saya kaitkan dengan peristiwa heboh pertama yang akan saya cerita singkatkan di sini. Cerita panjangnya nanti di akhir tulisan. 

Peristiwa itu adalah larangan impor pakaian bekas dari luar negeri oleh pemerintah. Larangan itu sebetulnya menyangkut larangan impor sekian banyak daftar barang bekas. 

Kecuali untuk barang tertentu, misalnya mesin, kendaraan tertentu, dan lain-lain. Dan pakaian bekas bukan termasuk di dalam deretan daftar yang diijinkan untuk diimport.

Lanjut dulu kita ke kata kedua flexing. Kata yang sangat nge-pop di kalangan Gen Z tetapi sekarang sudah menjalar ke telinga semua kalangan. 

Peristiwa yang yang saya kaitkan dengan flexing adalah adanya fenomena sejumlah orang dari kalangan tertentu yang memamerkan harta benda miliknya kepada khalayak. 

Tak cuma langsung di depan hidung dan mata orang-orang yang cakupannya terbatas. Pamer kekayaan itu juga disebarluaskan lewat media sosial milik mereka. Sehingga bisa dibayangkan berapa ribu atau bahkan berapa juta pasang mata yang menyaksikan show off mereka.

Dan jangan kalian bayangkan barang-barang yang mereka pamerkan adalah barang-barang mahal. No way. Tidak. Barang-barang yang mereka perlihatkan di foto dan video mereka itu adalah benda-benda premium yang super mahal ...!!!

Foto-foto dan rekaman video mereka selalu berlatar belakang bangunan megah rumah istana mereka, di depan hotel dan resto mahal, atau resort dan tempat wisata terkenal di luar negeri. 

Jika tidak, mereka sering terlihat sedang di dalam mobil yang interiornya menunjukkan bahwa mobil yang mereka naiki adalah mobil berkelas. Kadang mereka juga bergaya sebagai penumpang VIP di sebuah pesawat yang sedang terbang.

Gak cukup hanya berdiri atau duduk dengan gaya di tempat yang selalu high class itu, mereka juga selalu tampil dengan mengenakan pakaian dan segala kelengkapannya yang berharga fantastis !

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala setelah tahu tas tangan yang dijinjing oleh perempuan yang terlihat di medsos mereka itu berlabel harga sampai ratusan juta rupiah. 

Bayangkan, uang pembeli tas yang mereka tenteng itu bisa dipakai untuk biaya mendirikan sebuah rumah yang sangat layak di kota tempat tinggal saya.

Bahkan, jepit rambut yang nempel di kepala seorang perempuan muda yang lagi pamer di medsos jadi dikepoin netizen dan segera ketahuan jepit rambutpun bisa berharga jutaan rupiah!

Tak perlu saya ceritakan lebih jauh. Kalian pasti sudah melihat dan membaca sendiri lewat mass media dan socmed kalian. Bagaimana orang-orang yang suka flexing itu kemudian dikorek-korek kehidupannya oleh para netizen.

Sebenarnya pamer itu gak masalah. Pamer kekayaan pun silakan aja. Mau langsung di depan mata orang-orang atau di layar medsos. Hukum tidak menganggap itu illegal setahu saya. Jikalau itu di luar kepatutan moralitas dan berurusan dengan kepekaan sosial, itu perkara lain.

Yang jadi masalah itu bila kemudian ketahuan bahwa biaya untuk segala flexing mereka dicurigai didapat dari perbuatan yang melanggar hukum. Maka kemudian ramailah khalayak ketika satu persatu orang-orang penyuka flexing itu dikuliti para netizen. 

Nah, yang mudah menjadi sasaran empuk adalah para ASN dan abdi negara lainnya. Penalarannya simple aja: Bisakah gaji atau pendapatan mereka, yang bisa dengan mudah dicheck oleh siapapun itu, mampu menopang gaya hidup hedonis dirinya, istrinya , dan anak-anaknya?

Yang terjadi kemudian pun kalian semua sudah tahu. Sekian banyak orang terpaksa harus wira-wiri melaporkan dan mempertanggungjawabkan asal-usul harta mereka ke hadapan institusi berwenang. 

Berharap mereka terhindar dari perkara hukum walaupun terpaksa harus dicopot dari jabatannya. Tiba-tiba mereka pun harus berbicara di depan awak media berdalih dan berusaha meyakinkan publik bahwa selama ini dia dan keluarganya menjalani hidup yang "baik-baik saja".

Dan "perburuan" para abdi negara yang suka tampil hedon oleh para warganet itu masih terus berjalan. Apalagi lembaga anti rasuah KPK bahkan menyemangati dan meminta bantuan netizen melalui media sosial untuk menelusuri dan mengungkap kekayaan tidak wajar para pejabat negara.

Runyamlah nasib para abdi negara yang hobby flexing ini. Baik yang nanti terbukti bersalah maupun tidak.

Baiklah, kita lanjutkan apa yang saya sebutkan di awal tulisan, thrifting.

Ini juga lagi heboh. Kalian yang hobby thrifting mungkin sekarang juga lagi deg-degan. Itu kalau kita bicara tentang kesukaan kita membeli pakaian impor murah yang selama ini kita jalani. 

Karena pemerintah mempertegas regulasi larangan impor pakaian bekas yang sebenarnya sudah sekian lama diberlakukan. Mungkin tak akan begitu mudah lagi kita nanti bisa mencari baju-baju, tas, sepatu branded keren yang harganya murah itu.

Okelah, biarkan penegakan hukum berjalan sebagaimana adanya dan semoga pemerintah memberikan solusi terbaik untuk para pemain bisnis pakaian impor bekas ini.

Thrifting, jika kita bicara tentang kegiatan ini, sebenarnya bukan melulu mencari baju, tas, atau sepatu bekas yang dijual murah. Thrift atau berhemat itu ya bisa dalam hal apa saja, walaupun gak jauh dari hal pembelanjaan atau pengeluaran uang kita.

 Kebiasaan thrifting sudah saya jalani sejak puluhan tahun lalu ketika saya masih remaja belia. Sebenarnya saat itu gak tepat kalau dikatakan sebagai hobby yang terkesan bersenang-senang. 

Saya melakukan thrifting karena terpaksa. Saya bukanlah anak yang tumbuh di kalangan keluarga berada yang dengan mudah mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Saya selalu harus mengumpulkan sedikit demi sedikit uang yang saya dapat untuk membeli satu barang yang saya inginkan.

Saya masih ingat, alat musik gitar pertama yang saya miliki di usia belasan tahun itu adalah barang loak yang saya beli dengan harga murah jika saya kenang angkanya sekarang. Itupun sudah membuat kantong di celana saya langsung kosong tanpa sisa.

Saya juga sering tertegun saja ketika saya melihat label harga sepatu di sebuah toko sepatu. Kalian jangan salah menerka saya mau beli sepatu di situ. Saat itu saya hanya menemani seorang kawan yang ingin membeli sepatu baru.

Saya harus cukup puas membeli sepatu, tas, jaket, bahkan buku pelajaran sekolah pun juga di pasar loak yang ada di beberapa tempat di kota kelahiran saya.

Lama-lama saya malah menyukai thrifting saya ini. Dari terpaksa jadi suka. Saya juga menjadi pandai dalam ber-thrifting. Dari mulai memilih barang yang mau saya beli, menawar harganya, sampai bagaimana dan di mana saya bisa memperbaiki atau memodifikasinya. 

Ingat ya, barang hasil thrifting tak selalu barang bekas. Ada juga barang baru tapi cacat di sana-sini. Misalnya, ada sedikit robek di lengan sebuah baju. Atau ada jaket jeans yang, entah karena apa, kancing logamnya yang begitu kuat itu bisa lepas satu. 

Bagi saya barang cacat seperti itu jadi berkah bagi saya karena saya beli dengan harga murah dan hanya perlu sedikit kreativitas untuk memperbaiki atau memodifikasinya.

Dengan barang-barang hasil thrifting kadang-kadang saya bisa juga sedikit tampil flexing di depan kawan-kawan saya saat itu. Haha ... Walau hanya sekedar penampilan baju, jaket, topi, atau sepatu ala anak gaul. 

Mereka sering mengira fashion yang saya kenakan berharga mahal. Yupp, gak salah juga, itu kalau mereka melihat brand-nya yang terlihat di barang-barang saya.

Setelah berumahtangga dan alhamdulillah mapan dengan memiliki rumah sendiri, kebiasaan thrifting saya lebih meluas lagi. Saya sering membeli part kendaraan, alat-alat, dan perabotan rumah dari pasar barang bekas atau disebut pasar klithikan menurut orang lokal di lingkungan kota saya. 

Sebagian lagi saya dapat dari penjualnya secara online. Dengan sentuhan kreativitas dan kerjasama dengan tukang ini-itu, benda-benda yang saya beli dengan harga murah itu bisa tampil fungsional dan bahkan jadi unik. 

Saya sebenarnya gak suka memperlihatkan apalagi flexing isi rumah saya, tapi suatu kali pernah ada sepasang orang muda suami istri ketika sedang bertamu ke rumah saya merasa penasaran dan sampai meminta ijin saya untuk melihat-lihat rumah saya dari bawah sampai atas. Padahal rumah saya kecil dan jauh dari disebut mewah. No flexing !

Tulisan ini akan saya akhiri dengan sedikit pemikiran saya bahwa orang-orang yang suka flexing itu sesungguhnya hanya butuh pengakuan bahwa mereka exist. 

Tapi untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa mereka itu ada, mereka merasa harus tampil dengan segala harta benda mereka secara maksimal dan extravaganza untuk mendapat pengakuan. Dan untuk meraih dan memiliki semua kepemilikan itu terkadang mereka sampai harus berbuat yang tidak-tidak.

Kalau sudah begitu, tampil gaya dengan thrifting itu lebih cool dan keren daripada bersusah-susah flexing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun