Mohon tunggu...
GUNAWAN
GUNAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru ASN

Guru desa melakukan apa saja agar otak tidak beku.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

2 Hal yang (Mungkin) Akan Membuatmu Paham Wahai Pengabai Virus Corona!

19 Juni 2021   22:10 Diperbarui: 19 Juni 2021   22:46 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di hari-hari ini, di waktu terkini, walaupun sudah sedemikian masifnya pemberitaan dan penyebaran informasi tentang Covid 19 lewat berbagai media, tetap saja ada sebagian orang yang terisolasi dari pencerahannya. Tak mengherankan kemudian terjadi kasus yang seharusnya tak boleh terjadi : angka penderita Covid naik drastis lagi. Kelihatannya tak masuk akal jika ini harus menimpa kita. Apalagi sebelumnya sudah ada contoh  di depan mata. Liputan tentang tsunami Covid di India sungguh mengharubiru kita semua.

Ada sebagian masyarakat yang bisa memahami tentang seluk beluk Covid berikut dampak yang bisa ditimbulkannya dengan baik. Ada yang menerima setengah-setengah. Ada yang melenceng jauh. Kira-kira kenapa ya bisa begitu?  Itu berangkat dari sikap dan penerimaan mereka sendiri terhadap penyakit pandemik ini.

Ada yang punya akses lumayan mudah untuk memperoleh informasi dan punya perhatian terhadap masalah Covid. Mereka tidak pernah jauh dari perputaran informasi dan lengket dengan bermacam gawai penerima dan peluncur berbagai informasi. Mereka dengan mudah bisa mencari dan menerima informasi tentang Covid yang benar dan mereka cenderung akan bersikap dan berbuat yang proporsional.

Ada pula yang memiliki kemudahan akses seperti yang saya sebutkan di atas, tetapi bersikap bagai bumi dan langit dengan kelompok yang saya sebut pertama. Mereka bersikap negatif terhadap apapun yang berbau Covid.  Bahkan ada yang beranggapan ekstrem: Covid itu hanya omong kosong berlebihan dan tak lebih dari hasil konspirasi jahat. Penyakit hasil persekongkolan. Wow!  Sikap mereka jelas, apapun informasi yang mencerahkan sering mereka tentang dan mereka cela. Tapi sering pula mereka bersemangat menyebarkan informasi tentang Covid yang salah dan sesat. Lho? Iya dong. Jangan lupa, mereka juga selalu pegang gadget. Mereka pun berpikir dengan berbuat begitu mereka telah  memberikan “pencerahan” bahwa Covid itu hanya omongkosong belaka.

Lalu ada sekelompok orang yang berada di tengah-tengah ke dua kelompok yang bertolak belakang pemikiran tadi. Kelompok ini adalah orang-orang yang sedikit atau minim mendapatkan informasi yang memadai tentang Covid 19. Apa yang membuat mereka jadi begitu? Bisa jadi mereka memang jauh dari segala hal yang membantu mengalirnya informasi yang memadai kepada mereka. Tempat tinggal yang jauh dari hiruk pikuk peredaran informasi misalnya. Ketiadaan alat komunikasi yang dimiliki. Atau bahkan ketiadaan waktu untuk sekedar menyerap informasi. Kelompok ini berpeluang fifty-fifty untuk bersikap mengakui atau menentang keberadaan Covid. Tergantung informasi yang mana yang datang duluan kepada mereka.

Ketiga kelompok ini saya jumpai langsung dalam kehidupan saya sehari-hari, baik sebelum maupun sesudah saya menjadi survivor Covid 19. Ketika saya selesai menjalani perawatan di rumah sakit sebagai pasien Covid dan tentu juga melewati masa isolasi mandiri di rumah, saya mulai menjalani kehidupan normal dan rutin saya lagi. Begitu belum jauh saya berjalan keluar rumah, seorang tetangga saya dengan antusias langsung merangkul dan menyalami saya dengan erat! Sesuatu yang sangat menyenangkan jika itu terjadi tidak di masa pandemi Corona. Tetangga saya yang sebulan penuh tak bertemu saya sekeluarga terlihat merindukan saya. Dia tak perduli bahwa ada protokol kesehatan  cegah Covid 19 yang seharusnya kami lakukan berdua. Tanpa mengenakan masker dia mendekati dan merangkul saya, lalu meraih tangan saya dengan erat. Tetangga yang baik, sayang dia kurang pemahaman.

Tetapi yang lebih mengagetkan saya adalah ketika dia mulai bicara dan menyatakan bahwa dia merasa kasihan kepada saya dan merasa tidak terima, entah kepada siapa, karena saya “dicovidkan” dan harus dikurung di ruang isolasi untuk waktu yang lama.

Untuk beberapa menit saya sempat tertegun mengikuti jalan pikirannya yang mengalir lewat kata-kata yang diucapkannya. Menurut dia , saya yang ketika berinisiatif berangkat ke rumah sakit dan terlihat “baik-baik saja” mustahil kena penyakit omong kosong yang disebut Covid. Menurut dia lagi, saya paling-paling hanya terkena demam flu biasa tapi “divonis” Covid lalu masuk kurungan isolasi.

Kini giliran saya yang bercerita. Saya mulai kisah dengan gejala demam yang saya alami yang membuat badan saya semakin tidak nyaman. Ketika saya berada di IGD menunggu pemeriksaan yang lebih intensif saya mulai batuk-batuk. 

Lalu saya harus menjalani foto thorax yang hasilnya memperlihatkan bintik-bintik di paru-paru saya.  Selanjutnya...sejarah hidup saya mencatat bahwa saya tertular virus Covid dengan sekian gejala yang membuat saya harus dirawat di ruang isolasi Covid 19 selama sekian belas hari.

Kemudian beberapa kali dengan geli saya melihat mulut tetangga saya membentuk huruf O dengan mata tak berkedip ketika dia menyimak cerita derita saya yang lain.

Misalnya ketika tengah malam badan saya demam berkeringat sampai basah kuyup tanpa ada yang menyeka karena saya hanya sendirian di kamar isolasi. Bagaimana saya bersusah payah berganti pakaian sendiri setelah belajar dari seorang perawat bagaimana cara melepas dan mengenakan pakaian ketika tangan kita terpasang jarum dan selang infus. 

Bagaimana saya pernah seharian harus berjalan sempoyongan bolak-balik ke kamar mandi karena efek pengobatan yang membuat saya harus banyak buang air kecil sambil menjinjing sendiri botol infus. Bagaimana setiap hari saya harus mendapat sekian injeksi dan menelan berbagai obat dan vitamin untuk kesembuhan saya.

Bagaimana saya harus diperiksa dengan teliti setiap hari oleh dokter dan perawat yang berpakaian hazmat lengkap hingga saya hanya bisa mengenali mereka dari kedua mata dan suara mereka. Bagaimana pernapasan saya untuk beberapa lama terpaksa harus dibantu selang oksigen untuk menaikkan kebugaran tubuh saya.

Foto tabung gas yang saya beri text untuk peringatan bahaya Covid 19 (Foto koleksi pribadi)
Foto tabung gas yang saya beri text untuk peringatan bahaya Covid 19 (Foto koleksi pribadi)

Bagaimana rasa kesepian saya karena harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Bagaimana suatu saat ketika saya makan malam sendirian, menyuap dengan tangan kiri yang gemetar (tangan kanan tak bisa berbuat karena dipasangi jarum dan selang infus), tiba-tiba meneteskan airmata tanpa bisa dibendung. 

Saya baru menyadari betapa indahnya ketika saya bisa duduk semeja makan dengan keluarga atau sahabat-sahabat tercinta.

Foto saat makan yang saya beri text pesan untuk putri saya (Foto koleksi pribadi
Foto saat makan yang saya beri text pesan untuk putri saya (Foto koleksi pribadi
Bagaimana saya bersyukur tidak mengalami gejala ‘delirium’, istilah yang baru saya dapat setelah saya sembuh, sehingga saya tidak melakukan hal-hal yang membahayakan diri saya secara tanpa sadar.

Setelah agak lama mengalirkan beberapa cerita sedih itu saya kemudian bertanya kepada tetangga baik saya ini, “Masih percaya saya dicovidkan, Mas? Berani berpetualang melawan Covid seperti saya di ruang isolasi, Mas?”  

Jawabannya sangat bisa ditebak, “Enggak lah Paaak ... Saya enggak berani, pingin baik-baik saja tidur di rumah.”

Catatan ini saya akhiri dengan ajakan kepada para survivor Covid 19 terutama yang pernah sampai harus mengalami perawatan medis serius seperti saya untuk selalu aktif person to person turut serta memberi pencerahan kepada siapa saja yang awam tentang bahaya Covid. Memang setiap orang bisa dengan mudah mencari sendiri informasi tentang penyakit ini. Tapi pengalaman pribadi yang disampaikan secara ‘personal touch’ saya kira akan lebih menarik dan mengesankan bagi siapapun yang menerimanya. Itu sering saya rasakan sendiri atmosfernya ketika saya bercerita dan berbagi pengalaman saya sebagai pasien Covid kepada siapa saja, bahkan kepada orang yang sebelumnya tak kenal saya sekalipun. Tanpa berkesan menggurui. Betapa bahagianya ketika saya menyaksikan seseorang mengangguk-anggukkan kepala dengan tulus dan mulai menyadari betapa beresiko perilakunya selama masa pandemi ini yang bisa membahayakan dirinya sendiri maupun orang-orang terdekatnya.

Ada dua hal yang menurut pengalaman saya besar kemungkinan bisa membangkitkan kesadaran akan bahaya Covid bagi orang yang belum pernah (semoga tidak) menjadi penderita Covid 19:

Pertama, orang ini bertemu dengan survivor Covid yang aktif memberikan pencerahan tentang bahaya Covid berdasarkan pengalaman yang dialaminya lewat obrolan bersahabat, tulus, ringan, dalam suasana santai seperti yang biasa saya lakukan.

Kedua, orang ini harus mengalami sendiri terpapar virus Corona dan merasakan sendiri berbagai derita akibat serangan Covid 19 yang juga pernah saya alami dan rasakan. Dengan catatan, dia bisa survive berhadapan dengan virus corona, dan nasibnya tidak berakhir di tempat pemakaman korban Covid 19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun