Mohon tunggu...
GUNAWAN
GUNAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru ASN

Guru desa melakukan apa saja agar otak tidak beku.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Jaga Sikapmu di Jalan, Nak

22 Mei 2021   18:30 Diperbarui: 22 Mei 2021   18:50 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ngati-ati."

"Aja nakal ya Le"

"Manut karo Bu Guru."

"Jaga tumindakmu neng dalan."

(Berhati-hatilah.

Jangan nakal ya Nak.

Patuh kepada Ibu Guru.

Jaga sikapmu di jalan.)

Kata-kata berupa pesan dalam bahasa Jawa seperti itu selalu saya dengar dari ibu saya ketika saya siap berangkat sekolah. Pesan-pesan itu kadang jelas saya terima di otak saya. Tapi sering juga hanya masuk ke telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. 

Maklum, bagi seorang anak esde umur 7-8 tahun pesan ibu saya yang 'monotonous' itu tak bisa menyentuh akal saya. Mungkin juga ketika telinga saya mendengarkan pesan rutin sebelum berangkat sekolah itu, saya malah lagi memikirkan barter saya nanti dengan teman sekelas saya. Kelereng sejumlah sekian butir saya akan ditukar seekor jangkrik berikut kandangnya.

Yang penting, ketika ibu saya mulai mengeluarkan petuah hariannya saya harus mengangguk-angguk saja. Beres. Jangan sekali-kali bertanya, nanti bisa panjang. Setelah itu saya segera berlari ke luar rumah. Sudah ada kawan sekolah yang menunggu. Begitulah.

Dan karena pesan-pesan Ibu itu sering hanya masuk ke telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri, maka apa yang yang dipesankan beliau lebih banyak saya abaikan daripada saya ingat dan saya patuhi ketika saya dalam perjalanan pergi dan pulang sekolah.

Bahkan saya suatu saat pernah berpikir, 'nggak rugi' juga kalau saya sekali-sekali melanggar pesan-pesan itu. Lagi pula mana Ibu saya tahu?

Tapi walau tak selalu patuh, saya tetap harus pandai bersiasat agar saya terlihat selalu menaati pesan Ibu.

Jika tidak, bisa ada kejadian seperti ini:

Suatu hari di waktu sore, Ibu bertanya kepada saya, "Coba jelaskan, kenapa sepatu sekolahmu itu bisa basah, padahal hari ini tidak ada hujan?"

Dari situ terungkap kisah ada sekelompok anak esde yang pulang sekolah 'mampir' dulu masuk selokan pinggir jalan untuk mencari ikan 'cethul'. Walaupun semua sudah berinisiatif melepas sepatu sebelum masuk saluran air, ada saja yang berbuat bodoh tanpa sengaja menyenggol deretan sepatu kawan-kawannya hingga semua jatuh tercebur ke aliran air.

Seandainya ibu saya tidak melihat sepatu yang diam-diam saya jemur di atap belakang rumah pasti petualangan anaknya yang melanggar aturan itu tidak akan terungkap.

Suatu saat, dalam perjalanan pulang sekolah secara sadar sepenuhnya saya pernah melanggar pesan Ibu saya untuk selalu 'menjaga perilaku' saya di jalan. 

Jika nanti Ibu saya akhirnya tahu pun, saya sudah siap berdalih bahwa perbuatan saya adalah 'heroik' membela kebenaran. Haha ! Walaupun dalam hati saya tetap takut-takut semoga orangtua saya, terutama ibu, tidak tahu apa yang saya perbuat sepulang sekolah itu.

Tetapi akhirnya saya ketahuan juga karena ada seorang anak perempuan (yang saat itu saya anggap anak paling bodoh sedunia) menceritakan kisah sepulang sekolah itu ke beberapa anak tetangga saya. Dan akhirnya sampai ke telinga Ibu.

Ibu mendengar kan cerita versi saya sambil mengangguk-angguk. Mulai dari cerita bahwa anak-anak, terutama anak perempuan, sering merasa takut saat berangkat dan pulang sekolah jika melewati jalan di depan sebuah rumah yang disitu dipelihara sepasang angsa yang galak. 

Angsa-angsa itu seringkali kalau melihat orang, terutama anak-anak, mereka itu akan menurunkan kepala mereka dengan leher lurus kaku siap perang berusaha mematuk anak-anak kecil yang berlari ketakutan. Lalu saya berpikir, semua ini harus berakhir. Harus ada pahlawan yang bertindak.

Dengan memberanikan diri tetapi juga tetap takut, saya sengaja berada di barisan paling belakang ketika angsa itu mulai menyerang. Dengan gerakan menghindar tiba-tiba ketika paruh binatang itu hampir mendarat di pantat saya, saya berhasil meraih leher makhluk nahas ini. Dengan kedua tangan dan sekuat tenaga saya cengkeram leher angsa itu dan saya seret-seret binatang itu mungkin sampai berpuluh meter jaraknya.

Walaupun terasa berat dan menakutkan karena angsa itu juga melawan, saya benar-benar sudah merasa jadi pahlawan saat itu.

Teman-teman kecil saya bersorak-sorak. Tapi momen heroik nan indah itu berlangsung hanya sesaat. Yang terjadi kemudian pemilik angsa itu keluar dan berteriak-teriak marah. Tentu kepada saya.

Setelah selesai bercerita dan kulihat Ibu masih mengangguk-angguk, saya menunggu kemakluman Ibu atas perbuatan saya itu. Hasilnya, walaupun saya dianggap berniat berbuat 'baik', saya tetap dianggap menyiksa binatang. Dan ini tak bisa diterima Ibu dengan dalih apapun.

Pesan pun ditambah:

Jangan mengganggu hewan di jalan!

................................

Di jenjang usia SMP dan SMA kurang lebih sama apa yang saya perbuat. Yang tetap dan konsisten adalah pesan Ibu yang tak berubah: Jaga sikapmu di jalan.

Saya tidak nakal masuk selokan lagi, atau mengganggu angsa peliharaan orang. Tapi mulai mempreteli sepeda kayuh kendaraan untuk sekolah saya hingga hanya tinggal kerangka, roda, dan batang setang. Bagaimana dengan rem? Lupakan rem... Injak saja ban depannya maka sepeda akan berhenti menggelinding. Sandal atau sepatu kita sebagai pengganti rem. Praktis bukan?

Suatu hari semua sepeda siswa yang tak berperlengkapan standar dikumpulkan di lapangan sekolah esempe saya. Tentu sepeda saya ikut ada di situ. Semua harus berjanji untuk melengkapi sepeda mereka agar layak benar-benar disebut sepeda.

Esok paginya saya terpaksa jalan kaki menuju sekolah. Untung sekolah saya tak jauh dari rumah, walaupun lumayan kalau harus ditempuh dengan jalan kaki. Kenapa tak bersepeda lagi? Semua kelengkapan sepeda yang saya preteli tak bisa saya temukan lagi untuk dipasang. Hilang tak bersisa entah dimana.

................................

Masa esema sudah lazim anak-anak naik motor. Tapi jangan tanya berapa anak yang punya surat ijin mengemudi atau SIM. Jangan pula mempertanyakan sepeda motor mereka apakah sudah memenuhi standar untuk dikendarai atau tidak.

Yang saya alami adalah ketika mengendarai motor dan berpapasan dengan petugas kepolisian, saya merasa seakan petugas itu mengawasi saya dan motor saya. 

Sangat tidak menyenangkan jika Bapak / Ibu polisi itu lalu menghampiri saya karena tertarik dengan lampu depan motor saya yang berwarna kuning, tanpa lampu penunjuk arah, knalpot terpotong separuh, plat nomor patah, dan seterusnya. Siap-siap deh, kejar-kejaran dengan motor Pak Polisi.

.................................

Setelah berpuluh tahun melewati masa itu, pengalaman banyak memberi pelajaran berharga bagi saya. Dan pesan ibu saya sebelum berangkat sekolah yang dulu sering saya abaikan sekarang malah semakin sering terngiang dan semakin jelas pesannya di otak saya. Saya pun mematuhi dengan ikhlas karena ternyata semua demi kebaikan saya sendiri.

Saat-saat sekarang ini saya sering heran dan terkadang miris dengan perilaku warga di jalanan. Banyak pelanggaran aturan terjadi di jalanan sampai pada tahap tidak masuk akal. Dan sungguh perilaku pelanggar aturan itu sangat tak bisa diterima nalar sehat. Yang lebih mengerikan lagi, mereka kadang merasa tidak bersalah walaupun bisa sampai membahayakan diri dan orang lain.

Dengan mudah saya dan pembaca bisa kembali membuka informasi di internet tentang perilaku tak terpuji para warga ini di jalan. Tak perlu saya tautkan linknya, pembaca tak akan kesulitan mencari sendiri di internet.

Ada seorang ibu yang nekad mengendarai sepeda motor di jalan tol.

Sebegitu nol-kah pengetahuannya tentang jalan tol?

Mahasiswa yang cerdas rasional ramai-ramai berdemo itu boleh.

Tapi kenapa harus membakar ban bekas di tengah jalan dan menimbulkan kemacetan?

Seorang ibu marah dan memaki-maki dengan kasar petugas kepolisian karena mobilnya diminta putar balik di saat pelarangan mudik.

Sebegitu kasarkah tutur kata dan perilaku sehari-hari ibu itu jika di rumah?

Seorang perwira penjaga keamanan negeri marah dan mengacungkan senjata pistol ketika ditegur pelanggaran aturan yang dilakukannya di jalan.

Waduhhhh...!

....................................................................

Sungguh pembaca, kalau sudah begitu saya jadi ingat almarhumah ibu saya yang dulu suka cerewet berpesan kepada anak-anaknya ketika kami mau berangkat sekolah:

Jaga sikapmu di jalan, Nak!

Dan setelah itu saya lalu jadi bertanya-tanya:

Apakah orang-orang pelaku pelanggaran di jalanan itu tak sekalipun pernah ingat pesan orangtua mereka ketika akan berangkat sekolah dulu?

Atau, orangtua mereka tak pernah sekali pun berpesan untuk menjaga perilaku di jalan kepada mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun