Oleh: M. Rivani Gunawan, S.IP, M.ScÂ
(Alumni Nicolaus Copernicus University Polandia)
Pada pemilu tahun 2007, merupakan pertama kali Recep Tayyib Erdogan terpilih menjadi Perdana Menteri Turki. Erdogan sedikit demi sedikit mulai mengubah politik Turki yang sekuler menjadi lebih  Islami. Melalui Adelet ve Kalkinma Partisi atau yang kita kenal dengan AKP, Erdogan mampu menghimpun suara yang besar dari publik untuk mendukungnya maju dalam pemilu. Bahkan AKP menjadi partai terbesar di Turki hingga saat ini. Pada pemilu 2002, AKP berhasil mendapatkan dua pertiga kursi di parlemen dan membentuk pemerintahan partai tunggal setelah 11 tahun. Akhirnya Erdogan mampu naik di bangku Presiden yang sebelumnya diduduki oleh Abdullah Gul.
Selama menjadi perdana menteri Turki pada tahun 2007, Erdogan bersama AKP telah membuat lompatan besar bagi kemajuan Turki. Besarnya kader AKP Parlemen Turki karena kemenangannya pada pemilu 2002, membuat Erdogan mampu mengontrol kebijakan politik Turki. Erdogan memprioritaskan agenda kerjanya pada perbaikan Ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Ternyata walaupun Erdogan tidak memasukkan prioritas kebijakannya terhadap agama, namun perubahan kebijakan politik di Turki yang tadinya disebut negara paling sekuler dapat berubah dalam waktu singkat. Akhirnya Erdogan dan Presiden Turki saat itu, Abdullah Gul mengatakan bahwa presiden harus dipilih langsung oleh rakyat. Alhasil pada tahun 2014, Erdogan mencalonkan diri sebagai presiden dan terpilih.
Pada tahun 2016 kita mungkin masih mengingat kegagalan militer dalam menggulingkan kekuasaan Erdogan. Kudeta ini merenggut nyawa 250 orang dan lebih dari 2.100 orang terluka. Kepemimpinan Erdogan cukup unik untuk dibahas, bagaimana ketika Presiden sebelumnya digulingkan , namun Erdogan tetap bertahan dengan penduduk sebagai tamengnya. Peristiwa ini menyebabkan pada tahun 2017, Erdogan berinisiatif untuk mengubah sistem politik Turki dari Parlementer menuju Presidensial. Perubahan ini cukup beralasan untuk seorang presiden, sistem presidensial dapat menjadi batu loncatan untuk tetap berkuasa penuh. Dalam sistem ini seorang presiden mampu mengganti dekrit, membubarkan parlemen, mengangkat hakim senior. Adapun Perdana Menteri di tiadakan sehingga Presiden dapat berkuasa penuh terhadap negara. Hasil dari refrendum tersebut dimenangkan oleh Erdogan dengan memperoleh suara 51, 4 persen dan otomatis merubah Turki menjadi presidensial. Setelah beberapa tahun kemudian Erdogan kembali memenangkan Pemilu pada tahun 2018 dan berkuasa hingga saat ini.
Melihat sepak terjang Presiden Erdogan dengan berbagaimacam lika-liku perjalanan politiknya, dia mempunyai berbagaimacam strategi untuk terus memimpin di Turki, yaitu dengan menjadikan rakyat sebagai tameng dan mengambil simpati rakyat. Dengan gaya kepemimpinan Presiden Erdogan yang sangat pro terhadap tegaknya Islam di Turki, untuk sementara dapat kita ambil kesimpulan bahwa masyarakat Turki menginginkan Islam dan Utsmani kembali tegak di Turki. Kemudian dapat kita lihat bahwa Erdogan tidak tunduk kepada Amerika Serikat, dan mencoba memotivasi rakyatnya agar tidak tertipu dengan Amerika Serikat (AS).Â
Kemarin pada tanggal 15 Mei 2023, Turki menggelar pemilu yang dikuti oleh 3 peserta kandidat capres yaitu Erdogan, Kilicdaroglu, dan Sinan Ogan. Setelah 20 tahun berkuasa Erdogan kembali mencalonkan diri memperebutkan kursi presiden setelah hampir 20 tahun berkuasa. Namun, kali ini jalan yang ditempuh Erdogan tidaklah semulus sebelumnya, dimana ia dapat menang dengan mudah. Salah satu pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu yang diusung dari partai oposisi CHP (Cumhuriyet Halk Partisi) mampu menahan Erdogan untuk mendapatkan suara kurang dari 50% dan hanya menang tipis dari Kilicgdaroglu. Memang setelah hampir 20 tahun berkuasa, kepercayaan masyarakat terhadap Erdogan semakin menurut disebabkan beberapa kotroversi yang ia buat, misalnya krisis mencapai hyperinflasi hingga 80% dimana ini adalah angka terburuk. Kemudian, menurut masyarakat, Erdogan membiarkan para pengungsi syuriah, uighur, dan Rohingya mendapat tempat di Turki. Mereka diperlakukan seperti masyarakat umumnya terutama mendapat kesempatan yang sama dalah hal pekerjaan yang menyebabkan warga pribumi iri.Â
Hegemoni Erdogan di Turki
Kita mungkin sudah tak asing lagi mendengar kata Hegemoni. Konsep ini adalah sebuah ide yang keluar dari Antonio Gramsci, seorang filsuf dari Italia yang pernah memimpin partai komunis di Italia. Hegemoni sering kita artikan sebagai paksaan digabungkan dengan persetujuan. Carla Norloff, Profesor Ilmu Politik Universitas Toronto mengartikan Hegemoni sebagai kemampuan atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang atau aktor politik untuk membentuk suatu sistem melalui paksaan atau sebaliknya. Lanjut lagi menurut Gramsci, terdapat dua perangkat yang harus dimiliki oleh seorang aktor politik untuk mempertahankan kekuasaannya yaitu, Law Enforcement atau hukum yang memaksa dan perangkat yang mendukung mereka seperti agama, pendidikan, kesenian, keluarga dan sebagainya. Hegemoni saat ini dapat terlihat melalui sistem regulasi pepimpin dominan, atau bentuk dominasi politik maupun ekonomi dari seorang tokoh politik atau penguasa, yang intinya ia memiliki power lebih dibanding yang lain. Hegemoni dapat diraih dari upaya-upaya politik yang dapat memunculkan kesamaan pandangan mengenai dunia oleh seluruh masyarakat.
Dari pemaparan tentang hegemoni tersebut, kita menemukan berbagai contoh kasus dimana sebenarnya Hegemoni Erdogan sangatlah kuat di Turki. ia mampu membuat kepercayaan rakyat Turki masih bertahan untuk berpihak padanya. Hal ini tergolong unik, bagaimana Erdogan tetap membakar optimisme masyarakat walaupun inflasi tinggi menimpa negaranya untuk tetap berpegang pada Islam. Inflasi yang tinggi tersebut sebagian besar diketahui karena hubungan diplomatik Turki dan Amerika Serikat mengenai masalah regional hingga sanksi ekonomi terhadap Turki. Masyarakat menilai bahwa Erdogan merupakan seorang yang berani melawan hegemoni dollar AS, meskipun dampaknya adalah inflasi tinggi.Erdogan mengatakan dengan lantangnya "kita masih punya Allah" dan sebagian masyarakat tetap mendukungnya, walaupun banyak juga yang kecewa.
Tidak hanya itu, Hegemoni Erdogan terlihat dalam 2 dekade bagaimana ia tetap terpilih sebagai pemimpin Turki, mengubah sistem konstitusi Turki, Turki yang awalnya sekuler menjadi lebih islami, mengubah kembali Hagia Sofia menjadi masjid dimana selama bertahun-tahun ia adalah sebuah museum. Yang lebih menarik adalah ketika Erdogan dikudeta oleh militer Erdogan mampu mengerahkan rakyat untuk mendukungnya menggagalkan kudeta. Ia mengubah sistem pemerintahan Turki supaya Presiden berkuasa penuh sehingga ia mampu mengeksekusi para pengkudeta dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya.Â
Erdogan kembali menghegemoni Turki?
Hasil dari Pemilu 15 Mei kemarin kembali memunculkan wacana tentang apakah Erdogan akan kembali terpilih sebagai presiden Turki atau akhirnya digantikan oleh penantangnya. Dalam Pemilu tersebut Erdogan membuat selisih yang lumayan tipis dengan Kilicdaroglu yaitu 49,50% suara untuk Erdogan dan 44,89% suara untuk Kilicdaroglu, otomatis suara mayoritas masih dipegang oleh Erdogan. Namun sayangnya hasil ini kurang menguntungkan Erdogan karena ia masih akan tetap menghadapi Kilicdaroglu dalam pemilu leg kedua pada tanggal 28 Mei mendatang. Hasil ini juga menandakan bahwa AKP sudah harus mempersiapkan kader baru sebagai pengganti Erdogan di masa mendatang.Â
Perolehan suara oleh Kilicdaroglu telah mampu membuat diding pertahanan Erdogan selama 20 tahun terancam. Ini merupakan sebuah tanda bahwa sekuler masih mendapat tempat di Turki, walaupun belum mampu mengalahkan Erdogan. Kepandaian Erdogan memainkan isu patut diacungi jempol, bagaimana ia mendekati daerah-daerah gempa dan menjanjikan perubahan untuk para korban gempa di Tengah krisis ekonomi yang melanda Turki. Krisis Ekonomi ini awalnya diperkirakan akan mampu membuat Erdogan surut dari tahtanya, namun ternyata masyarakat masih berpihak padanya.
Kekuatan Kilicdaroglu terletak pada isu kegagalan Erdogan dalam menempatkan para pengungsi serta mendekati kaum muda yang mulai pesimis dengan tingkat inflasi Turki.
Dengan demikian Erdogan harus tetap berhati-hati dalam memutuskan kebaijakan politiknya untuk tetap bisa terpilih kembali. Dan pada akhirnya hegemoni Erdogan akan tetap berakhir, membuat Partai AKP harus segera mencari sosok pengganti yang layak menggantikan beliau sebagai capres Turki berikutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H