PKPU 20/2018 Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi "Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi", aturan ini jelas menabrak norma UU Pemilu Pasal 240 ayat (1) huruf g yang berbunyi: "Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan atau DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi syarat: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atu lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana".
Terlepas dari pernyataan dari KPU yang mempersilahkan pihak yang keberatan untuk mengajukan judicial riview ke Mahkamah Agung. Namun tindakan tersebut jelas telah melanggar normatif pembentukan peraturan perundang-undangan. Materi PKPU tersebut tidak mencerminkan asas-asas materi peraturan perundang-undangan diantaranya asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, asas ketertiban dan kepastian hukum dan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 12/2011.
Maksud dari asas tersebut adalah agar setiap lembaga negara yang membuat norma wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga tidak dengan arogansi kekuasaan memaksakan kehendaknya.
Mengambil Alih Tugas Hakim
Dalam beberapa wawancara di media, ketua KPU mengungkapkan alasan mengapa mantan narapidana dilarang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif adalah guna mendukung pemerintah memberantas kejahatan korupsi di Indonesia.
Dengan asumsi tersebut KPU telah mengambil alih tugas hakim untuk menghukum seseorang, karena hak politik seorang mantan narapidana telah hilang dan dicabut. Padahal di dalam negara hukum yang berwenang menghukum seseorang adalah kekuasaan yudikatif.
Hakimlah yang berwenang mencabut hak politik seseorang melalui vonis, karena melalui vonis hakimlah letak sebuah keadilan masyarakat itu tercipta. Seperti mantan anggota DPR Lutfi Hasan Ishaaq dan Anas Urbaninggrum selain di hukum 18 tahun dan 14 tahun penjara hakim juga mencabut hak politik kedua koruptor tersebut.
Sesuai prinsip pemasyarakatan, warga negara yang telah menjalani masa pembinaan di lembaga pemasyarakat dianggap telah menyadari kesalahannya, telah memperbaiki diri  dan diharapkan tidak akan mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat. Prinsip pemasyarakatan tersebut telah lama diterapkan di Indonesia dan telah meninggalkan prinsip penjeraan masa kolonial.
Maka setiap mantan narapidana yang hak politiknya tidak dicabut oleh vonis pengadilan, maka dianggap memiliki hak politik yang sama dengan warga negara lainnya atau equality before the law. Hal ini yang ditabrak oleh KPU dengan menganggap mantan narapidana tersebut adalah warga negara yang jahat dan perlu dihukum melalui sebuah regulasi.
Sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 negara Indonesia adalah negara hukum. Ciri utama dari negara hukum menurut Frederick Julius Stahl dan A.V Dicey adalah pemerintah dan masyarakat telah menjunjung tinggi hukum. Namun yang terjadi adalah pemerintah seringkali mengabaikan hukum  dan rasa keadilan masyarakat, padahal  baik buruknya sebuah negara hukum ditentukan oleh pemerintah itu sendiri.
Apa yang Harus Dilakukan?