Mohon tunggu...
Gunanto Zidhan
Gunanto Zidhan Mohon Tunggu... -

Guru yang cinta Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Sungguh Bahagia, karena Dia Bahagia

9 Mei 2015   11:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1990 kami berpisah, itu saat lulus SMP. Kami teman selama 3 tahun di SMP, dekat kantor kecamatan. Jadi teman sekelas saat kelas 2 dan 3. Dia anak yang cerdas, cantik, supel, banyak teman, responsif, perhatian, tidak membeda-bedakan teman dari status sosialnya, dan segudang karakter positif. Hampir semua anak laki-laki di kelas menaruh perhatian padanya, padahal masih SMP ya. tapi begitulah. Dan sekali lagi aku yakin dia tidak memiliki yang pacar di antara teman-teman atau selainnya semasa SMP. Yang selalu kukenang adalah dia memanggilku "mas", dan tidak begitu kepada teman yang lain. Aku jadi merasa tersanjung, dan banyak teman yang iri kepadaku. Hubungan pertemanan yang unik, karena aku sering "jeles" padanya, sementara dia biasa saja, karena memang aku bukan pacarnya, hahahaha.

Sudah 25 tahun, tanpa komunikasi, waktu itu saat SMA aku sempat berkirim surat padanya, tapi hanya 2 atau 3 kali, setelah itu tidak lagi. Dia bersekolah di Ibu Kota Provinsi, aku sekolah di Ibu Kota Kabupaten, berjarak 50 km. Karena dia kos, otomatis tidak pernah berjumpa. Tentu tidak seperti anak-anak sekarang, yang usia SMP sudah punya HP, FB, BBM, dll. Selama itu aku masih selalu mengingat dan mengenangnya. Senyumnya selalu terbayang dengan jelas, tentu saja senyum waktu usia SMP. Yang selalu kupanjatkan kepada Allah SWT adalah semoga dia hidup bahagia, kapanpun dan di manapun.

Satu hal yang selalu kukenang adalah saat masih bersama tahun 1989-an. Aku main ke rumahnya bersama teman-teman. Kami hanya main, ngobrol, dan minta rambutan, hahaha. Saat aku di atas pohon, tiba-tiba ayahnya lewat sambil berkata, "hati-hati yo le". Aku menjawab lirih, "Nggih pak". Aku malu bukan kepalang, tapi teman-teman masih asyik saja makan rambutan yang kujatuhkan. Dua tahun kemudian, aku mendengar kabar bahwa bapaknya meninggal dunia karena perbuatan orang-orang jahat. Aku sangat sedih, beliau adalah tokoh masyarakat yang paling berpengaruh di kecamatan, hampir semua orang mengenalnya, dan kejadian itu begitu menggemparkan waktu itu. Aku jadi terkenang temanku, pasti dia sangat sedih. ... .

Singkat cerita, beberapa hari yang lalu aku dapat pesan WA, "Badanmu gemuk banget sekarang Gun". Aku tahu itu nomornya, karena setahun lalu dia menelponku, dan kami sempat ngobrol sebentar saja, katanya teman sekelas mau reuni pada Bulan Desember Tahun 2014. Akhirnya kami berbalasan SMS via WA, karena aku sedang memiliki kelas, dan selanjutnya ada kegiatan Doa Bersama Siswa Kelas IX untuk persiapan UN. Aku janji setelah selesai akan menelponnya.

Selesai kegiatan aku menelpon, tapi dimatikan. Selanjutnya dia telpon. Dia berkata bahwa pada usia 27 tahun dia baru berpacaran, itupun tidak sampai ke pelaminan. Akhirnya dengan cara dijodohkan, tanpa melihat siapa calon suaminya ia pun menikah saat usia sudah 36 tahun, dan sekarang sudah dikaruniai seorang putri berusia 3 tahun. Aku sangat bahagia mendengar ceritanya. Dia bercerita bahwa suatu hari akan pergi ke Jawa, maunya naik pesawat, tetapi putrinya tidak mau naik pesawat. Akhirnya naik bis. Saat di bis, putrinya bertanya kepadanya, bunda itu apa?. Lalu dijawabnya itu pesawat terbang, seharusnya kita naik itu, jika adik mau. Putrinya menjawab, aku mau. Lho tapi kan kita sudah naik bis, bagaimana mau naik pesawat? Bisa bunda, caranya bisnya dimasukin pesawat, maka nanti kita akan naik pesawat juga. Dia???.

Aku pun sempat berkomentar panjang lebar tentang putri kecilnya yang cerdas itu. Dan ngobrol di telpon pun berlanjut ke sana kemari tanpa henti, sampai kutanya, "mengapa nikahmu telat?". "Aku mencari yang seperti ayahku, tapi tidak nemu-nemu, untunglah akhirnya ada yang berani melamarku". Kujawab,"tidak mungkin engkau mendapatkan yang seperti ayahmu, dia orang yang luar biasa". Tapi dari semua nada yang kudengar, satu hal yang pasti, dia masih ceria seperti dahulu, dan dia bahagia. Waktu dhuhurpun tiba dan dia mengingatkanku untuk shalat. Telpon kumatikan. Dalam hati aku sungguh bahagia, karena dia bahagia.

Sampai jumpa lagi sahabatku, meski engkau entah di mana, aku selalu bersamamu melalui doa-doaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun