Kurang lebih 30 tahun yang lalu, selokan Mataram belum seperti sekarang ini, setahu saya saat itu sekitar 1980-an Selokan mataram baru saja dibangun serentak dari daerah paling barat (Ancol, nama bekennya ) ke arah timur ( daerah seputaran UGM ).
Unsur bangunan dinding dan jembatan di setiap jalan yang melintasi selokan Mataran atau memotong nya di buat sama. Sehingga hampir setiap tikungan yang mirip antara jalur satu dengan yang lainnya jadi sama.
Saat masa kecil, Saya banyak tinggal di rumah kakek nenek di dusun Kadipiro , Margodadi, Seyegan Sleman. Kampung tersebut berada di Selatan selokan Mataran, tepatnya timur lapangan Sepakbola Margodadi.
Bersama teman sepermainan kala itu, bak si Bolang, menyusuri selokan Mataran sering Kami lakukan dengan sepeda kecil. Dari Ancol ke arah UGM atau sebaliknya. Terkadang kami bawa gedebok pohon pisang dengan tiga atau empat anak kecil lainnya, dan “Byuurrrr… “. Mengapung mengikuti arus sambil bercanda lepas.
Kami tidak pernah berfikir dengan runyamnya politik di Indonesia setelah Kami besar nanti, Kami tidak pernah bayangkan bahwa Kami akan masuk ke tanggung jawab yang besar dalam bermasyarakat, bekerja, berkeluarga, dan harus tabah dan kuat hadapi segala kendala.
Alam begitu bersahabat. Dari waktu ke waktu ternyata selokan Mataram mencuri perhatian warga luar kota. Disaat warga sekitar justru beberapa tanahnya terambil untuk jalur perbaikan, ada banyak pendatang membangun rumah, toko kelontong dan warung makan di sekitar selokan. Mereka justru punya harapan besar terhadap selokan Mataram.
Ternyata “Sang Selokan” memang tidak membisu, pesonanya perlahan namun pasti , membuat sungai ini menjadi salah satu souvenir budaya, cerita alam bagi para pelancong dan semua yang pernah datang ke Yogyakarta.
Kalau kita lihat, sekarang ini ,di sekitar UGM dan UNY yang dilewati selokan Mataran, banyak tempat untuk rileks dan santai dalam bentuk café atau warung kopi dan sejenisnya. Marak dan hampir setiap waktu dikunjungi oleh anak muda, para pekerja selepas kantor dan jadi tempat bertemu atau reuni bagi mereka yang pernah “muda” di Yogyakarta.
Menjaga selokan Mataram, tentu jadi kewajiban kita bersama. Akhir kata, pantaskah kita buang sampah di selokan ini ? Tegakah kita dengan yang “ setia “ mendampingi berkembangnya kota, kita kotori dengan hal yang tidak semestinya ? Yuuk kita jaga selokan Mataram, selokan Kita.
Karena , bisa jadi dia juga Saksi Cinta Kita. Banyak dari Kita menemukan cintanya dan membangun kesetiaan , berawal dari wilayah yang “ dekat dengan Selokan Mataram “
Gunadi Pg ( renungan 15 Mei 2014 )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H