Mohon tunggu...
Gunawan
Gunawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Sekedar ingin berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orang Miskin Harus Bisa Kuliah

6 Februari 2014   16:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_320922" align="aligncenter" width="576" caption="Berpose Sebelum berangkat Studi Tour bersama teman satu angkatan (sumber: docpri) ("][/caption]

Saya dulu mau kuliah modal nekat. Kenapa saya katakan nekat? Karena keluarga saya termasuk keluarga miskin. Ayah sudah meninggal disaat saya dan adik-adik masih butuh biaya sekolah. Sementara ibu harus banting tulang bekerja demi bisa menyambung hidup kami anak-anaknya.

Tapi begitupun saya harus tetap sekolah. Untung saja saya termasuk anak yang pintar dan selalu gratis uang sekolah karena selalu mendapat juara umum. Yayasan sekolah pembauran tempat saya sekolah yang dikelolah oleh saudara kita suku Tionghoa selalu memperhatikan siswa-siswanya yang berprestasi baik dari warga pribumi maupun non pribumi (masa itu masih ada istilah ini).

Ketika saya berhasil menamatkan SMA, saya dilanda kegalauan tingkat dewa. Betapa tidak waktu itu sepeda saya satu-satunya harus terjual supaya saya bisa mendaftar dan mengikuti UMPTN. Saya sangat ingat ketika dipertengahan tahun 1994 saya mengikuti UMPTN bersama kawan akrab saya sejak SD sampai SMA. Sayangnya teman saya tidak lulus UMPTN. Saya lulus di Politeknik USU yang sekarang sudah berubah nama menjadi Politeknik Negeri Medan.

Untuk biaya selanjutnya ibu saya terpaksa berhutang kepada paman dan kerabat lainnya. Alhamdulillah disemester awal saya bisa mendapatkan IP yang bagus dan semester berikutnya berhasil mendapat beasiswa Supersemar dari Presiden Soeharto.

Untuk biaya makan dan kos, alhamdulillah saya diterima mengajar privat dan mengajari anak-anak kepala sekolah saya di SMP dulu seorang suku Tionghoa. Dari beliaulah saya banyak belajar untuk ulet dan bekerja keras dalam menuntut cita-cita saya.

Selanjutnya saya juga kos gratis dirumah bang Siswono seorang pegawai di suatu perusahaan BUMN yang dikuliahkan gratis oleh perusahaannya. Dirumah beliau inilah saya bisa belajar komputer dan belajar mengoprek karena beliau lulusan STM. Kemudian barter saya yang mengajari beliau Matematika, Fisikia, Kimia dan ilmu-ilmu dasar yang kami pelajari di SMA dan dilanjutkan di perkuliahan.

Jika saya dulu tidak kuliah, mungkin kehidupan saya tidak seperti sekarang ini. Mungkin saya sudah menjadi pekerja kasar di pabrik atau peternakan ayam yang ada di desa saya, seperti yang sekarang dialami teman-teman saya waktu kecil dulu di desa.

Orang-orang desa yang dulu mengejek dan menghina saya dan keluarga karena ngotot menguliahkan anak-anaknya akhirnya terbuka mata mereka. Bahwa orang miskin yang mau menuntut ilmu akan dinaikan derajatnya itu sangat benar. Selain bisa mengentaskan kemiskinan kuliah akan menjadikan kita berwawasan luas dan mempunyai cara berfikir yang berbeda dari orang-orang yang tidak berkesempatan mengecap bangku kuliah.

Setelah tamat kuliah dan bekerja saya bisa membantu ekonomi ibu saya dan bisa membantu biaya sekolah adik-adik saya. Sedikit demi sedikit tingkat perekonomian kami meningkat. Orang-orang di desa sudah tidak memandang sebelah mata lagi kepada ibu saya yang hanya seorang janda.

Lika-liku kuliah saya sungguh rumit, saya dulu sengaja memilih D3 agar cepat bekerja. Dan itu terbukti setelah saya tamat kuliah, saya langsung bisa bekerja di sebuah proyek mikrohidro (pembuatan pembangkit listrik tenaga air mikro) yang dikelolah oleh dosen saya. Saya dipercaya ikut proyeknya karena saya mempunyai kemampujan memprogram mikrokontroller yang menjadi perangkat utama dari projek itu.

Setelah proyek selesai saya diajak menjadi asistennya mengajar laboratorium pemrograman komputer di kampus saya dulu. Akhinya jadilah saya pegawai tidak tetap disana selama 2 tahun. Pada tahun 1999 rejeki menghampiri saya lagi. Saya ikut mendaftar menjadi PNS di kampus saya dengan posisi sebagai Teknisi laboratorium. Alhamdulillah saya lulus dan sampai sekarang saya menjadi teknisi disana.

Apakah saya puas dengan kedudukan saya sekarang? Tentu belum. Saya masih punya ambisi yang sangat lama terpendam. Saya ingin menjadi dosen di kampus saya sendiri. Saya harus kuliah lagi. maka saya mengajukan izin belajar dan melanjutkan S1 (ekstensi) ke jurusan Elektro di Universitas Sumatera Utara dengan biaya sendiri. Saya sisihkan gaji saya untuk kuliah dan sebagian untuk keperluan rumah tangga.

Suka duka melanjutkan S1 disaat awal-awal berumahtangga dengan adik kelas dulu di kampus. Alhamdulillah dia mengerti kondisi saya dan mau membantu saya. Mertua saya juga sangat baik dan sayang kepada saya. Merekalah yang membiayai kuliah saya di S1.

Akhirnya saya selesai S1 dan saya berhasil penyesuaian ijazah di kampus tempat saya bekerja. Namun untuk menjadi dosen syarat minimal harus S2. Maka saya kuliah lagi S2 di Universitas yang sama. Sekarang ini saya masih berstatus mahasiswa magister (S2) Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas Sumatera Utara.

Sumber biaya kuliah saya terus terang saya katakan dari pinjaman di Bank Rakyat Indonesia. BRI bersedia memberi pinjaman kepada saya sebesar Rp 60 juta dengan ciclan sekitar Rp 1,5 juta perbulan yang dipotong langsung oleh bendahara kantor untuk dibayarkan ke BRI.

Tanpa kenekatan mungkin saya tidak bisa kuliah S2 seperti sekarang ini. Dengan gaji PNS yang alhamdulillah bisa menghidupi keluarga dan 2 orang anak saya, juga bakal akan saya kuliahkan setinggi-tingginya. Saya sudah merasakan, bahwa kuliah dan menyelesaikannya akan menjadikan kita manusia yang bisa mandiri dan meningkat ekonominya dan harkat martabatnya.

Saya sangat bersyukur dan berterimakasih bahwa pemerintah banyak memberikan beasiswa kepada mahasiswa miskin melalui program Bidikmisi dan juga BBM serta PPA. Tidak ada alasan lagi untuk mereka yang miskin tidak mau kuliah karena khawatir tak ada biaya. Semangat dan kerja keras serta pantang menyerah adalah kunci keberhasilannya. jangan jadi generasi malas dan cengeng serta manja. Jika ada kemauan pasti ada jalan.

Memang tidak dipungkiri banyak sarjana menganggur. Namun itu hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk mereka bisa bekerja atau menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Saya bisa rasakan perbedaan pada diri saya yang bisa menyelesaikan bangku kuliah dengan yang tidak kuliah.

Maaf jika artikel ini berkepanjangan dan bernada curhat. Tujuan saya menuliskan pengalaman kuliah saya hanya untuk berbagi agar teman-teman yang mengalami nasib yang sama dengan saya jangan putus harapan dan pantang menyerah. Kejar cita-citamu setinggi langit. Saya terharu membaca berita ada kakek usia 97 tahun berhasil menyelesaikan S3 dan meraih gelar Doktornya.

Saya belum setua kakek itu dan saya harus bisa meraih apa yang diraih kakek itu juga. Doakan saya bisa cepat menyelesaikan thesis saya dan meraih gelar M.Kom dan bisa alih status menjadi dosen di kampus saya  atau kampus - kampus lain yang mau menerima saya. Saya akan mendarmabaktikan ilmu yang saya miliki untuk semua orang yang membutuhkannya.

[caption id="attachment_320924" align="aligncenter" width="480" caption="Berpose di depan Kampus bersama teman satu angkatan (sumber:docpri)"]

13916778821202548223
13916778821202548223
[/caption]

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun