Mohon tunggu...
Gumawang Jati
Gumawang Jati Mohon Tunggu... Administrasi - Suka sepi

Akupun akan diam dalam sunyi.....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Obrolan ringan (maaf bingung mode on)

31 Oktober 2010   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu siang aku duduk manis di salah satu warung cepat saji di Bandara Soekarno Hatta.

Ada satu undangan untuk sekedar berbicara dan berbagi. Siang itu panas terik, aku memesan es jeruk, sambil menunggu sahabatku yang rupanya tertahan oleh kemacetan Jakarta yang indah.

Indah penuh umpatan-umpatan yang sebenarnya jarang terdengan 15 tahun yang lau. Kosa kata umpatan di jalanan rupanya tumbuh pesat dengan significant di Jakarta. Mulai dari umpatan impor sampai umpatan ndeso yang dibawa serta ke Jakarta.

Setengah melamun, sms masuk; “ So sorry I should have known this might happen. The traffic is really sucks. Please wait…. “. Ada umpatan impor yang harus disampaikan dengan membayar pulsa, hebatkan…mengumpat saja harus bayar, negeri yang aneh, atau orang yang aneh? Karena saya kesal, maka tidak saya hiraukan sms yang masuk, kalaupun harus saya balas, saya tidak mau membuang energy dan pulsa untuk sekedar membalas umpatan, atau mengumpat kembali, atau sekedar…yes, I will be waiting… tapi kalau ketinggalan pesawat ya..maaf saya berangkat duluan.

Dengan tergopoh gopoh, dan keringat menetes, akhirnya sang sahabat sampai juga. Rupanya tidak tahan dengan naik mobilnya yang mewah, berAC dengan music klasik yang lembut, dia terpaksa pindah selera, membonceng ojek.

Di belakang tukang ojek, yang katanya jaketnya apek, sempet sempetnya sahabatku berpikir. Wah ini dia aku akn kenyang, makan umpatan. (Biasanya dia berperan sebagai orang yang mengumpat) Karena si tukang ojek terpaksa harus selap selip diantara mobil mewah.

Singkat kata, kami boarding. Lalu aku berkata pada sahabatku yang suka memberikan pencerahan kepada para kepala sekolah.

Tadi aku memperhatikan suatu proses pendidikan.

Maksudnya?

Bagaimana orang tua mengajari anak untuk berperilaku.

Nggak mudeng?

Ah, ngobrol sama kamu rupanya aku harus pakai pointer, flip chart, repot amat sih?

Bentar… bentar (sewot dot com), terus deh…ntar juga aku ngerti maksudnya, (kalau aku nggak ketiduran, dalam hati).

Orang tua dalam mengajarkan untuk berperilaku tidak pernah memberikan kesempatan bagi anaknya untuk sedikit mengambil resiko… Bahasa yang digunakan adalah 90% bahasa ancaman.

Awas, jangan lari…nanti jatuh (emangnya anaknya bego banget?)

Awas, hati hati tumpah. Jangan begitu, nanti ayah marah. Dan masih segudang contoh…

Lalu?

Lalu aku mikir, waktu aku sekolah dulu guruku juga banyak mengancam sepertinya (maaf sudah lama meninggalkan bangku sekolah).

Dicatat, terus dihafalkan kalau pengin pintar. Jangan terlambat mengumpulkan tugas. Jangan berisik kalau belajar. Belajar yang rajin, rajin pangkal pandai (apa ya benar?)

Maaf (sahabatku menyela dengan suara lantang) bukannya memang harus begitu?

Semua anak negeri ini harus belajar hal yang sama, cara mengajarnya harus seragam, tes yang dipakai sama semua, jawaban soal soal ujian harus seragam…. Bukankah kita mencetak anak-anak Indonesia yang seragam?

Maaf bingung mode on.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun