Mohon tunggu...
Hotdi Gultom
Hotdi Gultom Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di IPB University

Hobi Nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kilasan Memori di Gunung Gede

22 Desember 2024   21:46 Diperbarui: 22 Desember 2024   21:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Tittt.... tittt....... tittttt.

Dalam ruangan ICU yang dipenuhi bunyi monoton alat-alat medis, tubuh pria tua itu terbaring lemah. Wajahnya pucat, nyaris tak berwarna, dengan selang-selang yang menghubungkan hidupnya pada mesin. Di samping ranjang, keluarganya berdiri dengan raut cemas, bergantian mengusap tangannya yang dingin. Namun, sesuatu yang tak kasat mata mengamati semuanya dari sudut ruangan.

Roh pria itu berdiri, mengamati tubuhnya sendiri. Dia tahu siapa dia, tetapi ada sesuatu yang aneh. Perasaan ringan bercampur asing menguasainya. Dunia terasa begitu sunyi meski diisi dengan tangisan pelan istrinya. Dia melangkah mendekat, tetapi kakinya seolah melayang tanpa bobot. Tidak ada rasa sakit, tidak ada lelah, hanya ada satu hal yang mengganjal: tubuh itu, tubuhnya sendiri, tampak sangat jauh meski berada tepat di depan matanya.

"Jadi, ini rasanya sekarat?" pikirnya. Tak ada rasa takut, hanya kesadaran bahwa waktunya di dunia ini mungkin sudah hampir selesai. Namun, sebelum pikiran itu selesai terbentuk, sesuatu menariknya, seperti tarikan lembut namun kuat yang membawanya menjauh dari ruangan rumah sakit.

Sekejap kemudian, dia mendapati dirinya di sebuah tempat yang sama sekali berbeda. Bau daun basah dan tanah yang dingin menyeruak. Di hadapannya, Gunung Gede berdiri megah dengan kabut tipis yang menyelimuti puncaknya. Angin dingin menerpa wajahnya. Rasanya begitu nyata.

Dia mengenali tempat ini seketika. "Ini... masa mudaku," gumamnya, suaranya terdengar lebih muda, penuh energi. Dia menoleh dan melihat dirinya sendiri, jauh lebih muda, dengan tawa lepas yang menggema bersama teman-temannya.

Mereka sedang bersiap-siap untuk mendaki. Ada 13 orang, termasuk dirinya. Teman-temannya bercanda, saling meledek sambil memeriksa perlengkapan. Ada San, ketua pendakian saat itu, orangnya santai dan pandai mencairkan suasana sehingga rombongan jadi lebih santai. Ada Lur, laki-laki friendly yang selalu disukai banyak orang, sangat berjasa dalam pendakian ini karena selalu inisiatif untuk membantu rekannya yang butuh bantuan. Toel, si jago catur, sayangnya dalam pendakian ini tidak bawa catur jadi dia tidak bisa pamer keahliannya, tapi dia selalu menggunakan kepalanya untuk mengeluarkan strategi dalam pendakian ini.

Kemudian ada Ngoet, ringan tangan, inisiatif tinggi, tangguh, dan selalu suka berbeda dengan orang lain. Kontribusinya dalam pendakian ini tidak usah ditanya lagi: memasak, memasang tenda, membawa barang yang berat dan susah, dan masih banyak lagi. Minusnya cuma dia sebelumnya ada wacana tidak ingin bawa apa-apa dalam pendakian sepenting ini. Tapi tidak masalah, ini pendakian pertamanya. Ramz, orangnya asik dan friendly, pencair suasana dan teman ngobrol yang asik dalam perjalanan pendakian. Tapi harusnya jangan digabung dengan San, karena kalau digabung mereka suka membuli orang lain.

Ada juga Tex, pribadi pemimpin dan senang membantu. Dia sangat membantu banyak dalam pendakian ini karena tasnya yang bisa membawa banyak barang. Pengalamannya di organisasi juga sangat membantu banyak dalam komunikasi pendakian ini. Selain itu, ada 4 orang teman seangkatan yang berhalangan untuk ikut dalam pendakian ini yakni Pres, Tiz, Mban, dan Sul. Kehadiran mereka dalam angkatan selalu penting dan menjadi pilar penting.

Pendakian itu dimulai. Mereka menapaki jalur berbatu dengan semangat. Langkah demi langkah, candaan demi candaan. Kadang mereka berhenti untuk minum atau sekadar mengambil napas. Namun, tidak ada yang mengeluh. Setiap peluh terasa sepadan dengan pemandangan yang mereka dapatkan. Kabut yang menyelimuti lembah, suara burung yang bersahutan, dan suara aliran air yang terdengar dari kejauhan.

Namun, di tengah-tengah kenangan indah itu, dia merasakan sesuatu yang menghantam dadanya. Sebuah rasa perih. Dia tahu ini hanya kenangan, sesuatu yang tak bisa dia ulangi. Teman-temannya, momen ini, semuanya telah berlalu. Bahkan sebagian dari mereka sudah tak lagi ada di dunia.

Dia memandang dirinya yang lebih muda, yang saat itu tampak begitu bahagia dan penuh semangat. "Kenapa aku harus tumbuh tua? Kenapa aku membiarkan waktu mencuri semuanya?" pikirnya dengan sesal.

Dan tiba-tiba, suara lembut seperti bisikan muncul di telinganya. "Apa yang akan kamu lakukan untuk mengulanginya?"

Dia terdiam. Tanpa ragu, jawabannya muncul. "Aku akan menukar semua yang kumiliki. Kekayaanku, statusku, semuanya. Aku ingin kembali. Aku ingin hidup di momen itu lagi."

Angin bertiup lebih kencang. Dia merasa dirinya ditarik kembali ke tubuhnya. Suara alat medis terdengar semakin jelas, begitu pula suara isak tangis istrinya. Namun, rasa rindu itu masih membara di dalam hatinya. Dia sadar bahwa meskipun tubuhnya mungkin masih bertahan, jiwanya telah berubah. Momen di Gunung Gede itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia gantikan.

Di ruangan itu, tubuhnya tetap diam. Namun, dalam dirinya, perjalanan menuju Gunung Gede bersama 13 temannya itu masih terus hidup, seperti bara api kecil yang menghangatkan hatinya di tengah dinginnya realita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun