Jika mengacu pada kelahiran Hukum Progresif, ide tersebut muncul karena rasa prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia, khususnya sejak awal Reformasi. Hukum yang seharusnya digunakan untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal nyatanya hal tersebut tidak ditemukan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hukum Progresif melihat hukum dengan sudut pandang tujuan sosial yang ingin dicapainya serta konsekuensi yang timbul dari penerapan hukum tersebut. Oleh sebab itu, hukum progresif sangat dekat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan.[2]
Ahok telah menanggalkan nurani dalam mengeja bunyi pasal-pasal, hal tersebut justru hanya akan membawa konteks hukum pada hukum hanya untuk hukum, tidak progresif. Lain hal dengan hukum progrefis, bahwa penegakan hukum yang menghadirkan compassion empati, determinasi, nurani dan dedikasi terhadap kemanusiaan disebut  penegakan hukum  hukum mengabdi kepada manusia atau kemanusiaan, dan dalam prakteknya bersifat humanis karena hukum hadir sebagai saranan agar manusia mencapai kebahagiaan dan kesejahtraan. Tidak hanya kepastian hukum yang didapat namun juga keadila dan equality before the law.
Andai saja Ahok memahami hukum secara progresif dan meyakininya secara utuh, mungkin ia akan menjadi pemimpin yang berkharisma. Sifatnya yang reaksioner dan degil hanyalah cara agar ia terlihat seperti manusia pada umumnya, punya kekurangan. Agar tidak terlihat seperti Malaikat yang diturunkan ke Bumi untuk memperbaiki Jakarta. Namun sayangnya, Ahok tak lebih aktor ulung yang memerankan Malaikat Pembela Keberanan jika dihadapan rakyat kecil. Sayang sekali.
Atas dasar itulah, saya gagal melihat Ahok sebagai sosok pemimpin yang pantas menahkodai Jakarta kembali. Tujuan Ahok benar namun untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Kalau tidak populis mungkin tidak jadi masalah jika memang dibarengi dengan konsistensi berjuang. Artinya, ia tidak pandang bulu dalam berjuang dan membangun Jakarta. Tidak setengah-setengah.
Salam Jakarta untuk yang lebih baik. Semoha Koh Ahok bisa memperbaiki sikapnya!
Â
Â
Â
[1] Hasil Riset FAKTA
[2] Satjipto Raharadjo, Penegakan Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H