Anakku sayang, anakku harapanku. Tanpa sadar benalu menusukmu, sekaligus melukai hatiku sebagai bapakmu, orang yang besar menaruh harap terhadapmu. Oh, anakku sayang. Kau pasti sedang terguncang.
Semenjak suasana berubah menjadi fana, dawat pena tidak pernah lagi tertumpah di atas buku-buku belajarmu, kau hanya terdiam tanpa belajar, kau hanya sibuk memacu langkah melihat mereka bermain dengan androidnya.
Maafkan kau harus merana hinggap terlena dengan suasana, bapak tidak bisa membelikan HP baru, bekaspun tiada. Hingga kau malu diejek anak kepala desa, karena terlalu menontonnya bermain mobile legend, bukan belajar.
Karena bapakmu tidak mampu, kau harus ternganga di antara tiang-tiang rumah anak orang kaya. Bapak paham, jika di rumah kau pasti akan bosan, kau pasti akan beralasan keluar dan bohong kepada ibumu.
Maafkan, semenjak Corona kau telah merana, tidak bisa belajar menggapai harapan yang kuselatkan di dadamu, kutancapkan di matamu, namun kini kau merana dan membuat berurai air mata.
Nak, anakku. Kuselipkan harapan itu padamu, meskipun juang itu sulit kau tempuh, maafkan bapak yang tidak mampu memfasilitasi kamu seutuhnya. Dunia fana ini tak akan selamanya, tetaplah disini, menanti bapak itu mengumumkan bahwa esok kita kembali ke sekolah untuk belajar seperti biasa.
Biarlah Corona berjelajah, otak musti terus diasah. Aku orang susah yang tidak mampu belajar dengan aplikasi Corona, aku hanya belajar tatap muka, sambil tertawa melihat canda ibu guru yang sempat tertunda nikahnya, karena Corona jua.
Corona, Corona, kau anak siapa?
Sei. Likian, 06 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H