Mohon tunggu...
Guitanesia
Guitanesia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Seri Dawai Indonesia) Sapeh, Instrumen Indonesia Milik Borneo

25 April 2018   23:23 Diperbarui: 27 April 2018   00:17 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Harold Sumual & Theduardo Prasetyo

Sejauh apapun orang Dayak pergi, mereka akan merasa berada di rumah ketika mendengar petikan sapeh. Sapeh (Sape', Sape, Sampeh, Sapek) merupakan instrumen tradisional milik orang ulu atau 'orang sungai' terutama suku Dayak Kenyah dan Kayan yang berasal dari Borneo.

Sampai saat ini, sering terjadi perdebatan di Youtube atau media sosial lainnya yang mengklaim bahwa instrumen Sapeh merupakan milik Indonesia ataupun Malaysia. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya informasi mengenai sejarah Sapeh itu sendiri yang melingkupi Borneo, dimana ada lebih dari dua negara di pulau ini; di utara terdapat Malaysia dan Brunei dan di selatan adalah wilayah Indonesia.

Pulau ini sendiri dikenal dengan banyak nama. Nama Borneo sendiri mungkin berasal dari bahasa Sansekerta "vrua" () yang berarti air. Nama Indonesia sendiri untuk pulau ini, yaitu Kalimantan, berasal dari bahasa Sansekerta Kalamanthana yang berarti pulau yang memiliki udara panas.

(Dok:Youtube.com)
(Dok:Youtube.com)
Sape memiliki bentuk seperti perahu dan dibuat dari satu batang kayu yang besar. Dimainkan dengan cara dipetik, sapeh memiliki suara yang manis dan merdu, serta memberikan suasana yang tenang. Malcolm Macdonald (1956) menggambarkan musik Borneo yang manis dan bermelodi.

Orang Suku Dayak Kenyah dan Kayan merupakan prajurit yang tangguh dan brutal, sehingga di waktu santai diantara berburu dan berperang, mereka akan duduk mendengarkan musik yang memberikan ketenangan. Disamping itu Sapeh juga dimainkan untuk mengiringi tarian ataupun gawai padai (pesta syukuran kepada sang pencipta atas panen padi yang melimpah).

Dulunya Sapeh menggunakan dua atau tiga senar saja, namun karena keterbatasan tersebut banyak pemain Sapeh kontemporer mengembangkannya menjadi empat bahkan sampai enam senar agar melodi yang dimainkan bisa mencapai 3 oktaf. Beberapa menggunakan senar pancing, seperti Alena Murang, namun ada juga yang sudah menggantinya dengan senar gitar.

Tidak ada sistem penyeteman baku pada Sapeh. Setiap pemain mungkin mempunyai penyeteman yang berbeda tergantung dari skala lagu yang dimainkan. Fret untuk sapeh terbuat dari rotan atau bambu, dan melodinya hanya dimainkan di senar 1 sementara senar yang lain dimainkan secara open string sebagai efek drone (dengung).

Memainkan sape mungkin sedikit aneh bagi pemain gitar karena jempol tidak mencengkram neck, namun hanya mengandalkan dorongan ke fret. Memetiknya pun juga hanya menggunakan jempol kanan.

(Dok:sinchew.com.my)
(Dok:sinchew.com.my)
Sapeh terus berinovasi dan berkembang, misalnya dengan berkembang sebagai instrumen elektrik. Hal ini didasari juga karena suara aslinya yang tidak terlalu keras, sementara perkembangan zaman membawa sapeh tidak hanya menjadi instrumen pengiring namun juga solo yang kadang dimainkan di panggung yang besar.

Repertoar yang dimainkan juga tidak hanya lagu tradisional saja, anak muda kreatif seperti Uyau Moris mulai memainkan lagu kontemporer di Sapeh guna menarik anak-anak muda mengenal Sapeh. Sejauh ini Uyau Moris cukup sukses memperkenalkan Sapeh ke publik yang lebih luas.

Jadi, kembali lagi ke perdebatan tidak penting  di Youtube. Jika Alena Murang (Malaysia) yang lahir di Sarawak dan Uyau Moris (Indonesia) anak asli Dayak Kenyah bisa sama-sama memainkan sapeh dengan sangat indah, maka sudah saatnya kita kembali lagi ke buku sejarah dan membaca lebih jelas lagi sejarah kita. 

Baca juga lebih lengkapnya di guitanesia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun