Mohon tunggu...
Guido Famula
Guido Famula Mohon Tunggu... Freelance -

Tidak Ada Yang Terlalu Istimewa, Hanya Menikmati Faham Berbagi Dan Terus Berusaha Mengembangkan Diri. Regards: http://www.gofalatrip.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Minoritas di Bumi Pertiwi

29 Desember 2015   23:33 Diperbarui: 29 Desember 2015   23:55 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mohon maaf jika artikel ini kurang berkenan atau dapat di katakan tidak layak di publish.

Indonesia merupakan negara yang terkenal akan ragam budaya, agama dan adat istiadat.

Jika di tanya akan kekayaan budaya, sebagian besar warga dunia akan menjawab Indonesia.

Tetapi apakah kekayaan budaya tersebut menjadi kebanggaan di tanah sendiri? 

Secara retorika, mayoritas menjawab iya, tapi ragu apakah dapat diterapkan dalam bermasyarakat.

Terutama dalam rukun umat beragama dan suku, masih terdapat beberapa oknum atau orang yang menggunakan perbedaan sebagai tembok pemisah, baik itu secara sosial, politik, intelektual dan sebagainya.

Pandangan pemisah tersebut tidak tampak terlihat namun kuat di rasakan.

Jika kita ingat kembali pada masa-masa kelam dalam konflik perbedaan identitas agama, suku dan perbedaan kepentingan lainnya, merupakan mimpi buruk yang tidak di inginkan hadir dalam negeri ini.

Saya tidak bermaksud membuka luka lama, namun hanya sekedar memberikan refleksi, agar kedepannya menjadi lebih baik.

Sekarang Indonesia sudah lebih kondusif dari sebelumnya, dan kita wajib syukuri semua itu. Namun bayang-bayang selisih perbedaan kian mendekat terkait dengan beberapa kasus seperti pembakaran tempat ibadah, penistaan agama, penistaan suku dan lain sebagainya.

Lebih anehnya lagi, mengapa hal tersebut di gembor-gemborkan melalui media elektronik maupun media sosial, apakah demi rating yang tinggi dan kunjungan membludak kita rela memecah belah negeri ini?

Ditambah lagi dengan penambahan kalimat yang begitu kontekstual dalam memprovokasi pembaca.

Sudah terlalu banyak api di negeri ini, marilah kita bersama-sama menjelma menjadi air.

Jika berbicara masalah perbedaan, adakah di antara kita menghendaki berbeda-bedanya suku, agama, ras, dan warna kulit?

Tidak kawan. Karena semuanya terjadi begitu saja, hidup ini anugerah, Tuhan sudah mengatur semuanya, tidak ada yang ingin menjadi minoritas.

Apa mungkin mereka bisa memilih identitas sewaktu terlahir di dunia? Jawabnya pasti tidak. Kembali lagi dengan makna dari anugerah.

Terus atas dasar apa mereka menerima semua keadaan itu? Semua nya atas dasar pasrah dan syukur akan Tuhan sebagai sang pencipta. 

Terus apakah mereka bersalah dan berdosa luar biasa karena telah berbeda dari kalangan mayoritas?

Ayo kita buka mata lebar-lebar lapangkan fikiran, alihkan nafsu dengan hal yang positif, buang dendam-dendam konyol, jangan jadikan perbedaan sebagai estafet kehancuran Indonesia.

Ingat!! Semakin damai Indonesia, semakin banyak negara lain yang iri, semakin rusuh Indonesia, tertawalah mereka pada Negeri ini.

Pesan ini saya tujukan buat kita seluruh lapisan warga Negara Indonesia. Untuk selalu menjunjung tinggi nilai toleransi perbedaan, tidak hanya berdasarkan perbedaan agama, suku, ras dan budaya tetapi juga toleransi dalam menerima perbedaan pendapat.

Dan perlu di ketahui juga, bahwa saya tidak menyinggung atau menyudutkan salah satu agama, tetapi berbicara terhadap konteks minoritas yang berada di lapisan seluruh rakyat Indonesia.

Demikian corat coret pesan yang saya tulis, semoga apa yang kita harapkan dalam kerukunan perbedaan dapat benar-benar terjalin dan di pertahankan hingga akhir zaman.

Kurang dan lebihnya mohon dimaafkan. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun