Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Petani Porang Girang, Petani Cengkeh Ringkih

21 Agustus 2024   22:53 Diperbarui: 22 Agustus 2024   16:58 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sebuah fenomena lazim di tengah masyarakat pedesaan yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, yakni ketika dihadapkan pada fluktuasi harga jual komoditas.

Reaksi petani bermacam-macam. Ada yang girang ketika harga naik. Ringkih ketika anjlok. Bahkan ada yang membacot nggak karuan.

Begitulah. Apa yang dirasakan perlu juga didemonstrasikan, tidak dibiarkan mengendap dalam-dalam.

Seperti halnya para petani di Desa Pacar, Manggarai Barat.

Saat ini, ada dua kelompok petani yang sedang intens terhadap informasi harga jual komoditas pertanian. Yaitu, petani porang dan petani cengkeh.

Khusus petani porang misalnya, tahun ini mereka patut tersenyum lebar lantaran harga jual porang kembali bergairah. Selepas terjungkal selama beberapa tahun ke belakang.

Lebih lanjut, kenaikan harga umbi porang di tengah petani Pacar, mulai menggeliat pada pertengahan tahun 2024 ini. Ditandai naik dari Rp 2,500 per kilo garamnya (kg) pada Juni hingga Rp 8,500 Agustus ini.

Per Rabu 21 Agustus, misanya, sekilo umbi porang dibeli dengan harga Rp 9.000. Kemungkinan akan mengalami kenaikan harga pada beberapa bulan ke depan.

Di satu sisi, tren positif harga porang ini sebagai penanda kebangkitan ekonomi masyarakat arus bawah yang selama ini bergantung pada komoditas porang.

Lain cerita petani cengkeh. Tidak ikut merasakan kebahagiaan yang sama dirasakan petani porang.

Mereka justru disambar galau, utamanya ketika dihadapkan pada anjloknya harga jual komoditas unggulan mereka yang kian mengkhawatirkan.

Saat ini, cengkeh kering dibeli dengan harga Rp 70.000 per kilo garamnya. Anjlok hampir setengah dari harga jual tahun lalu.

Namun, mayoritas para petani cengkeh di Desa Pacar sudah tahan banting tatkala dihadapkan dengan fakta semacam itu--fluktuasi harga.

Adalah permainan pasar. Pada saat surplus cengkeh, harga pasti seret. Begitu juga sebaliknya.

Dan untuk menyiasati kondisi semacam itu, para petani cengkeh berpenghasilan besar biasanya memilih untuk ojo kesusu (meminjam istilah Jokowi) dalam menjual hasil panennya. Biasanya distok di gudang-gudang sembari menunggu harga yang baik datang.

Akan tetapi selalu saja ada ironi, utamanya bagi petani cengkeh kecil yang terpaksa menjual murah cengkehya. Oleh karena terdesak oleh ragam kebutuhan hidup, dan lain sebagainya.

Meski tak bisa dielak bila biaya panen cengkeh memang cukup besar, hal ini sih tergantung volume panen.

Dalam hal ini, tentu saja para petani biasanya telah melalui kalkulasi-kalkulasi yang matang soal beban biaya yang ditanggung sebelum memutuskan untuk menjual cengkehnya.

Lalu lintas diskusi menyoal harga porang dan cengkeh di tengah petani Pacar memang tak kunjung menyepi seiring pembeli dan/atau pengepul dari luar daerah sesibuk semut datang menawari.

Kali ini, petani cengkeh perlu belajar dari petani porang dalam hal sabar. Sabar memang membawa nikmat, bukan begitu? Heu heu heu...

Sebat dan kopce dulu!*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun