Mereka justru disambar galau, utamanya ketika dihadapkan pada anjloknya harga jual komoditas unggulan mereka yang kian mengkhawatirkan.
Saat ini, cengkeh kering dibeli dengan harga Rp 70.000 per kilo garamnya. Anjlok hampir setengah dari harga jual tahun lalu.
Namun, mayoritas para petani cengkeh di Desa Pacar sudah tahan banting tatkala dihadapkan dengan fakta semacam itu--fluktuasi harga.
Adalah permainan pasar. Pada saat surplus cengkeh, harga pasti seret. Begitu juga sebaliknya.
Dan untuk menyiasati kondisi semacam itu, para petani cengkeh berpenghasilan besar biasanya memilih untuk ojo kesusu (meminjam istilah Jokowi) dalam menjual hasil panennya. Biasanya distok di gudang-gudang sembari menunggu harga yang baik datang.
Akan tetapi selalu saja ada ironi, utamanya bagi petani cengkeh kecil yang terpaksa menjual murah cengkehya. Oleh karena terdesak oleh ragam kebutuhan hidup, dan lain sebagainya.
Meski tak bisa dielak bila biaya panen cengkeh memang cukup besar, hal ini sih tergantung volume panen.
Dalam hal ini, tentu saja para petani biasanya telah melalui kalkulasi-kalkulasi yang matang soal beban biaya yang ditanggung sebelum memutuskan untuk menjual cengkehnya.
Lalu lintas diskusi menyoal harga porang dan cengkeh di tengah petani Pacar memang tak kunjung menyepi seiring pembeli dan/atau pengepul dari luar daerah sesibuk semut datang menawari.
Kali ini, petani cengkeh perlu belajar dari petani porang dalam hal sabar. Sabar memang membawa nikmat, bukan begitu? Heu heu heu...
Sebat dan kopce dulu!*