Bukannya jadi senang, malah daku kepikiran. Bukan pula karena takut gagal [lagi] atau ngebet untuk menang kali ini. Tidak, tentu saja.
Karena biar bagaimanapun, para nominee kompasiana award itu selalu dipersepsikan sebagai orang anu, lantas tulisan yang ditaja paling tidak berotot..eh berbobot. Atau secara sosiologis, para nominee tersebut dikategorikan sebagai kaum dengan ketanggaan-literasi-atas [mengutip konsep lapisan sosial a la Weber].
Jikalau yang dimaksud adalah konsep ketanggaan literasi, tentu saja saya tidak termasuk atau malah berada di garis batas, paling bawah "just for real".
Bertolak dari hal itu, lalu kuambil kaca, peneropong jiwa, "equilkah diriku masuk ke dalam daftar itu?". Ihwal kebenaran selalu membuatku merasa ragu [asoy puitis banget gan].
Yup. Dua kali masuk nominee Best in Citizen Journalism [BiCJ] itu bagaikan memikul 2 karung umbi porang basah sekaligus [tentunya sambil mendaki-menuruni liuk perbukitan desa]. Sioooo.. beban berat sekali e!
Beban tersendiri karena pada prinsipnya, penganugerahan k-award itu berbarengan dengan munculnya sebuah nilai/kesadaran baru yang melekat padaku kelak. Jika aku melanggarnya, maka jelek kalipun daku di mata sahabat-sahabat kompasianer. Aih mama ee.. tolong!
Sekali pun k-award itu didasari oleh nilai kausalitas: kalau elu konsisten menjaga taraf tulisan, otomatis diperhitungkan dan masuk kategori. Tentu saja, ya, ada sistem yang menilai, juga karena dibantu oleh admin K dan rekan-rekan kompasianer. Sependek yang kupaham kira-kira begitulah ya.. [sok tahu dikit].
Lebih lanjut, bila ada yang menduga, jangan-jangan terpilihnya Guido Arisso menjadi nominee BiCJ pada dua tahun berturut-turut karena ada faktor X dan Y [X= Kopce, Y= Kakartana].
Sebagai jawaban atas rasa kecurigaan akut itu, saya sarankan untuk melakukan verfikasi faktual terlebih dahulu ke hutan Manggarai. Lha, kok ke hutan? Ya, kan kedua unsur yang Anda curigai itu hanya bisa dijumpai secara langsung di hutan. Kecuali kalau mereka sudah mutasi kartu kependudukan ke Jakardah. Maka nyarinya ke mall atau kos-kosan terdekat. Heu heu heu.. [becanda ugh!].
Tapi, kalau dipikir-pikir, bagus juga kalau misalkan ada kecurigaan semacam itu. Karena biar bagaimana pun, di dunia ini kita hidup di atas kecuriga-kecurigaan, kehati-hatian [intinya jangan sampai nyasar ke hati istri orang saja. Bahaya nanti bos!].
Lebih daripada itu, amor fati: mencintai takdir. Saya anggap terpilihnya [lagi] saya sebagai nomine BiCJ pada ajang kompasianival tahun ini adalah bagian dari takdir itu sendiri. Kendati takdir itu tidak di bawah kendali saya [not up to me, stoikisme]. Jadi, ya, apapun yang terjadi, terjadilah. Saya tak punya kuasa atasnya. [ehem.. bijak kalipun].
O iya, saya secara pribadi merasa tersanjung terpilih lagi tahun ini. Apalagi didudukkan sejajar kompasianer bertaraf, seperti Kae Neno, Bang Fauji, Pak Wuri, dan Pak Widi.
Saya juga tidak mau memaknai event kali ini sebagai ajang kontestasi yang sarat dengan persaingan. Tidak, tentu saja. Melainkan, menjadikan rekan-rekan sesama nominee sebagai rekan obrolan ide di kompasiana. Itu saja.
Dan yang tak kalah hebatnya adalah para sahabat kompasianer yang "kurang kerjaan" karena sudah repot-repot memvoting nama saya di program awal. Terima kasih banyak. Ingin saya peluk satu per satu [sambil cipika-cipiki tentunya], tapi tak dinyana terhalangi oleh masker wajah. Heu heu heu
Terima kasih pula untuk kaka Admin kompasiana yang dengan gesit mengadakan event/ritual tahunan membanggakan ini.
Semoga kita semua selalu sehat walafiat dan semakin militan menjalani hidup. Dangke banyak lai....
Salam Cengkeh & Ngopce
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H