Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghidupkan Kembali Spirit Marhaenisme Melalui Petani Milenial

17 November 2021   23:42 Diperbarui: 18 November 2021   17:28 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompas.id

"Penjaga Tatanan Negara Indonesia [Petani]" kata Soekarno, sang Proklamator. Petani- yang oleh Soekarno-dijadikan landasan pemikirannya tentang marhaenisme.

Marhaenisme a la Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan teori kewirausahaan yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McCleland.

Namun, McCleland lebih menekankan pada pendekatan fungsional, yakni kehendak untuk maju dari kalangan rakyat atau pengusaha kecil. Sementara, Soekrano lebih ke pendekatan struktural yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner. [Wikipedia]

Dalam pandangan seorang proletar seperti saya, sikap progresif revolusioner yang dimaksudkan oleh Bung Besar itu dapat dimaknai ke dalam dua pokok gagasan, yakni;

[1] produktivitas pertanian tidak sekadar untuk bertahan hidup [subsisten-survive], melainkan harus menciptakan surplus, dan [2] pola pikir yang berorientasi pada perbubahan [yang permisif pada kemajuan] serta harus mampu beradaptasi sesuai tuntutan zaman.

Sebagai pemimpin yang punya visi-misi ke depan, Soekarno tahu serta sadar betul bahwa sebagai negara agraris, sektor pertanian memegang peranan penting sebagai soko guru perekonomian bangsa.

Ya, sebab tidak mungkin mengurusi bangsa sebesar ini dalam kondisi perut lapar, bukan? Makanya, eksistensi petani [sebagai produsen pangan] perlu dilindungi oleh negara serta hidupnya dimakmurkan agar tatanan negara ini tetap utuh. Saya kira, itulah mimpi besar daripada marhaenisme yang dimaksudkan oleh Soekarno.

Lebih lanjut, kiwari saya juga melihat semangat marhaneisme itu tercermin lewat ijtihad pemerintah dalam mencetak petani milenial. Usaha itu tak lain untuk menghidupkan kembali gairah pertanian kita di tangan para pemuda dan pemudi.

Tersebab logika yang dibangun selama ini adalah pertanian kita ke depannya haruslah agribisnis berkebudayaan industri 4.0 [untuk menyebut digitalisasi pertanian]. Sehingga dirasa penting untuk melibatkan peran pemuda-pemudi untuk mencebur diri ke sektor pertanian.

Tentu ajakan ini tidak hadir sebagai motif tunggal, lantaran apabila ditilik dari etos kerja, faktor SDM dan daya kritis dalam memanfaatkan piranti-piranti moderen saat ini, anak-anak muda lebih bisa diandalkan dibandingkan petani tua yang lamban beradaptasi seraya cenderung tidak berpikir untuk maju dan/atau progresif.

Marhaenisme dan cara kerja baru

Secara implisit, ideologi marhaenisme itu lahir untuk melawan cara kerja kapitalisme yang selalu menindas kaum proletar [buruh dan petani]. Petani acapkali dijadikan subordinasi, objek eksploitasi kaum borjuis.

Jadi, bertolak dari pengalaman pahit itu, muncullah gagasan berdikari [berdiri di atas kaki sendiri] a la Soekarno. Menurutnya, petani harus dijadikan subjek sekaligus objek pembangunan. Sederhananya, petani harus bisa hidup mandiri, taraf hidupnya meningkat dan negara wajib melindunginya.

Namun, saat ini musuh terberat marhaenisme bukan lagi lintah darat kapitalisme, melainkan cara kerja pertanian kita yang mandeg, berjalan di tempat dan kian terbelakang dibandingkan negara-negara lain. 

Betul bahwa, paradigma pembangunan pertanian yang dalam terminologi marhaenisme itu pada dasarnya berorientasi pada manusia, yang meletakkan petani sebagai subjek sekaligus objek pembangunan guna memperdayakan ekonomi petani.

Dan apabila kita melongok nawacita petani milenial kiwari, hemat saya, upaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan petani milenial yang mandiri dan kedudukan pemerintah sebagai fasilitator.

Penting juga untuk diketahui bahwa, petani milenial yang mandiri sekaligus berwawasan agrbisnis berkebudayaan industri seperti yang saya sebutkan di awal, setidaknya harus memenuhi kriteria sebagai berikut [merujuk Harun, 1995]:

[1], mampu merencanakan dan mengelola usaha sehingga dapat memenuhi permintaan pasar. [2], selalu mengacu pada efisiensi. [3] mempergunakan teknologi yang ramah lingkungan. [4] berperilaku wirausahawan, dan [5] mampu bekerjasama dengan sesama petani maupun dengan pengusaha subsistem agribisnis lainnya.

Ingat, petani mandiri tidak berarti anti terhadap kerjasama dengan pihak lain, tetapi justru menekankan pada pentingnya kerjasama yang disertai tumbuhnya tingkat kreativitas, kritis terhadap pemanfaatan teknologi pertanian, keberanian mengambil risiko, prakarsa dalam kebersamaan, dlsb.

Wasana kata

Spirit petani melalui marhaenisme a la Bung Besar itu seyogyanya merupakan ijtihad menyejahterakan kehidupan petani. Menghidupkan kembali [neo] marhaenisme itu bukan saja sebatas pada ideologi, namun pada cara kerja hingga spirit pembangunannya.

Saya kira, marhaenisme dengan spirit berdikarinya itu pararel jika ditransformasikan pada diri petani milenial yang punya jiwa kerja dan karsa menggelora seraya patut diperhitungkan.

Pendek kata, petani milenial di negeri ini perlu mencontohkan lagi menghidupkan spirit marhaenisme berikut cara kerjanya, guna terciptanya kemandirian petani dan keberlanjutan sektor pertanian kita ke depannya.(*)

Salam Cengkeh

Bacaan: Suparta, N. 2009. Perencanaan Program dan Evaluasi Penyuluhan Agribisnis. Udayana University Press.bBali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun