Apalagi kalu dipikir-pikir, bertani di desa merupakan kosekuensi logis. Lantaran, di desa tersedia lahan yang sangat luas untuk bercocok tanam. Bukan begitu, kawan?
Kedua, faktor gengsi. Saya pikir, gensi ini masih setali tiga uang dengan idom lawas orang desa dalam memandang profesi petani.
Perilaku gensi ini tak hanya menyasar kaum terpelajar, tapi juga hampir semua kaum muda di desa. Sebagai profesi alternatif, pertanian di desa sedemikian ditinggalkan dan memilih untuk merantau ke luar daerah untuk bekerja di sektor jasa maupun non-formal.
Sekali lagi, pandangan muda-mudi seperti itu tidaklah keliru. Tapi, coba realistis saja, kawan!
Perlu diingat, ada satu hal dasariah yang harus kita camkan bahwa, kita di Manggarai memiliki kebudayaan agraris yang sangat kental. Dan pertanian merupakan soko guru ekonomi di pedesaan. Kita menggantungkan hidup darinya.
Dan untuk perkara malas dan/atau gengsi, ingat kita adalah orang-orang yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kuat. Bapak kita adalah petarung tunggal nan tangguh serta mampu memberi kita makan dari tanah gersang dan tandus.
Saya kira, makna filosofisnya itu, ya. Jadi, coba pikirkan dan renungkanlah. Pertanian Manggarai hari ini dan seterusnya sangat membutuhkan kontribusi anak muda.
Dengan begitu, tak ada alasan yang cukup kuat bagi kita, generasi muda Manggarai, untuk menunjukkan gelagat gengsi. Ayo, ke ladang dan sawah!(*)
Semoga bermanfaat.
Salam Cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H