Hal itu orangtua lakukan karena selain mereka tak kuat lagi bekerja, juga karena tanah mereka tak mampu diandalkan lagi. Tidak bisa diandalkan karena pelbagai masalah penyerta di baliknya, seperti persoalan irigasi, kelangkaan pupuk, tidak punya modal bertani hingga harga jual produk pertanian yang tidak lagi menguntungkan.
Tak ayal, dalam kondisi itu, hasrat menjual tanah sudah di depan mata. Entahlah, hasil dari penjualan tanah ini digunakan untuk memenuhi keperluan keluarga di kampung atau (sebagiannya lagi) digunakan untuk biaya hidup anak di tanah perantauan, misalnya.
Di kampung, lahan-lahan garapan di gadai untuk mengadu nasib yang lebih baik di kota. Betapa semangat para perantau ini berjuang demi menghidupi sanak keluarga. Dan hal itu tidak ada yang salah memang ihwal tujuannya survive!
Dan pada prinsipnya, bahwa merantau selalu dikaitkan dengan kesuksesan. Banyak orang yang pada akhirnya punya kehidupan yang lebih baik setelah memutuskan untuk merantau. Meski ada juga yang bernasib sial dan kurang beruntung.
Kini, yang terjadi adalah lahan perkebunan di desa tidak lagi terawat, persawahan kini kering, dan produktivitas pertanian menurun setiap tahunnya.
Merantau (atau diistilahkan urbanisasi) sesekini menjadi budaya tersendiri dan turut serta membentuk pola pikir dan cara pandang kaum muda. Mereka juga berpikir bahwa menjadi petani adalah profesi picisan (bahkan aib), karena tidak banyak menolong mereka.
Dan sebagai solusi, saya kira, pemerintah beserta elemen terkait perlu melakukan beberapa hal berikut ini, sebagai upaya melepaskan keraguan kita akan hilangnya generasi petani di masa depan, tahun 2063.
Pertama. Jadikan petani sebagai profesi yang memikat kaum muda. Caranya?
Sinergikan Kementerian Pertanian dan Kementerian Riset dan Teknologi dalam membantu petani dalam menciptakan/mempabrikasi alat-alat pertanian berikut diimbangi sistem pertanian modern sehingga banyak masyarakat (terkhusus kaum muda) yang tertarik bekerja di sektor pertanian.
Kedua. Menciptakan iklim pasar yang sehat. Salah satu caranya lewat kebijakan penentuan standarisasi harga jual komoditas pertanian di pasaran. Biar clear dan supaya tengkulak/pengusaha tidak sembarangan menentukan harga.
Ketiga. Mempermudah akses pupuk bersubsidi bagi petani, memperdayakan para petani lewat penyuluhan pertanian dan seterusnya.
Saya kira, jika hal-hal seperti ini (yang dalam amatan saya sebagai resolusi besar-besaran) dilakukan oleh pemerintah, niscaya sektor pertanian kita akan hidup 1000 tahun lagi.