Di atas bale-bale, di bawah rindangnya pohon cengkeh di tengah kampung, saya bersama beberapa petani cengkeh lain berbicara soal ekosistem cengkeh (termasuk di dalamnya harga jual cengkeh).
Meski demikian, pembicaraan kami tidak melahirkan apa-apa. Kendati secerek kopi, sebakul jagung dan berbatang-batang rokok ludes bersamaan. Terkecuali hanya menyisakan harapan semu.
Ya, maklumi saja. Aras diskusi kaum proletariat (seperti buruh dan petani) biasa mentok pada tataran paradigma, sebatas wacana. Ihwal mereka tidak punya kuasa/legitimasi dalam mengontrol harga di pasaran.
Situasi di mana petani hanya punya kewajiban menjual dengan harga yang sudah dikatrol sedemikian rupa oleh pengusaha. Tidak lebih.
Lebih lanjut, petani cengkeh hari ini adalah mereka yang sedang bernostalgia tentang indahnya menjadi petani cengkeh di masa lalu. Masa di mana cengkeh menjadi tanaman primadona, bahkan diklaim sebagai emas coklat. Selebihnya, menggantungkan harapan agar di masa sekarang dan dan di masa depan harga jual komoditas satu ini kembali berjaya.
Pada tahun 2014/2015, misalnya, harga cengkeh pernah melambung ke Rp 120.000 per kg kering. Namun, pada tahun berkitunya tren harga cengkeh mulai menurun. Hingga sampai hari ini (2021) terjun bebas ke Rp 53.000 per kg kering.
Adalah sebuah ironi, karena tingginya produksi cengkeh di tengah petani lokal setiap tahunnya tidak diimbangi oleh harga jual di pasaran. Imbasnya, jumlah pengeluaran semasa panen impas dengan pendapatan pascapenjualan. Itu merupakan fakta yang tak terelakkan lagi.
Jika ditilik, terdapat beberapa alasan dasariah di balik terjungkalnya harga cengkeh selama sepuluh tahun terakhir ini, yakni ditengarai oleh beberapa sebab berikut:
- Industri rokok dalam negeri sedang membatasi produksi rokok, sehingga berpengaruh langsung dengan harga cengkeh. Mengingat hampir 93 persen hasil cengkeh petani lokal diserap sepenuhnya oleh industri rokok dalam negeri.
- Adanya kampanye anti-rokok yang berlandaskan pada klaim-klaim kesehatan. Seiring gencarnya aksi anti-rokok seperti ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap produksi rokok dalam negeri. Imbasnya penyerapan tembakau dan cengkeh sebagai bahan dasar pembuatan rokok menurun. (Padahal, menurut Wanda Hamilton dalam karangannya yang berjudul 'Nicotine War' gerakan anti-rokok merupakan instrumen perang bisnis yang tidak adil, bagian dari usaha kaum kapitalis asing untuk menguasai bisnis kretek Indonesia).
- Adanya kebijakan impor cengkeh yang kian tak terkendalikan oleh pemerintah, yang berefek pada jatuhnya harga cengkeh di tengah-tengah petani lokal.
- Tidak adanya aturan yang mengatur da/atau menetapkan standarisasi harga komoditas cengkeh di pasaran. Maka tak ayal, setiap kali musim panen tiba, harga cengkeh tetiba jatuh di tengah petani.
- Pandemi Covid-19. Terkhusus setahun terakhir ini, pandemi juga punya andil dalam memporak-porandakan harga jual cengkeh.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, meski ada kecendrungan di tahun 2021 ini petani cengkeh setanah air kembali dihadapkan pada panen raya, tapi petani masih memilih mengencangkan ikat pinggang (baca: berhemat) dalam mengalokasikan anggaran panen.
Ihwal, panen raya selalu diidentikan dengan pengeluaran biaya operasional yang tidak sedikit. Semantara di satu sisi, pengeluaran semasa panen yang besar itu tidak diimbangi oleh harga cengkeh yang diberlakukan.
Fenomena ini tentu saja mewanti-wanti para petani cengkeh (kecil maupun besar) karena memang bila melihat gejolak harga cengkeh selama tiga tahun terakhir ini (periode 2019-2021) kian tidak stabil dan cendrung menurun.
Saya kira, bila menimbang fakta-fakta seputar diskursus komoditas cengkeh di atas, sulit rasanya harga cengkeh kembali berjaya seperti beberapa tahun silam.
Terkecuali memang bila pihak pemerintah pusat (bisa juga Kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian) membantu dalam menciptakan iklim pasar yang sehat. Salah satunya dengan membuat aturan penetapan standarisasi harga komoditas cengkeh. Supaya jelas!
Meski harga Rp 120.000 per kg dirasa terlalu tinggi untuk situasi saat ini, ya, sebisanya disesuaikan dengan posisi jual petani agar mereka bisa terbantu.
Dan selebihnya, pemerintah aktif menjadi mediator antar petani dan pengusaha. Karena kecendrungannya, petani selama ini berjalan sendiri dan seakan tidak punya posisi tawar yang baik di pasar.
Saya kira ini merupakan salah satu pekerjaan rumah (PR) yang teramat penting dan harus dikerjakan oleh pemerintah kita saat ini. Tapi, apakah pemerintah sudi mengerjakannya?
Semoga saja!
Salam Cengkeh
Baca juga:
Alasan di Balik Cengkeh Berbunga Lebih Cepat Tahun Ini
Beberapa Tahapan Ini Perlu Dilakukan Pascapanen Cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H