Karena biasanya, begitu memasuki akhir atau awal tahun, hujan turun secara drastis yang mengikutsertakan angin kencang. Tentu saja hal ini akan berbahaya bagi pertumbuhan cengkeh.
Kedua, karena pada tahun sebelumnya pohon cengkeh tidak terlalu banyak berbuah. Kendati, meski rata-rata pohonnya berasal dari bibit unggul zansibar, tapi memang tidak bisa berharap banyak lantaran daunnya banyak yang berguguran diterpa air hujan dan angin kencang.
Berikut tanaman satu ini juga memang tidak selalu berbuah lebat setiap kali musimnya tiba. Dalam artian, cengkeh baru akan berbuah lebat--panen raya setiap tiga tahun sekali.
Lebih lanjut, pohon cengkeh berbuah lebih cepat tahun ini seakan menjadi angin segar bagi petani di tempat saya. Selain, sebagai penanda ekonomi akan berdenyut kembali di tengah petani, tentu saja.
Pulau Flores merupakan salah satu reksa wilayah sentra penghasil cengkeh di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kadar tanah oxiosol yang terdapat di lereng-lereng perbukitan desa di Flores sangat memungkinkan tanaman cengkeh tumbuh subur dan berbuah dengan baik/lebat.
Bisa dikatakan juga, cengkeh merupakan tanaman perdu yang banyak ditanami oleh para petani di Pulau Flores setelah kopi arabika, kopi robusta, dan kopi Bajawa.
Sebagai informasi saja misalnya, pada tahun 2020, produksi cengkeh di Folers sebesar 3, 645 ton. 64 persennya bersumber dari produsen cengkeh yang ada di Manggarai Raya (Barat, Tengah dan Timur). (Sumber BPS)
Besaran produksi cengkeh di Flores, NTT memang tidak ada apa-apanya bila kita bandingkan dengan wilayah lain di tanah air yang bisa menghasilkan berpuluh-puluh ribu ton, seperti daerah Maluku dan Sulawesi.
Sementara bila berbicara soal harga cengkeh di Flores, sejauh ini memang masih kisut, lesu dan terjungkal. Penyebabnya karena pandemi.
Namun, yang saya dengar beberapa hari terakhir ini sudah ada sedikit kenaikan. Dari Rp53 ribu ke Rp62 ribu per kilo gram kering. Semoga saja begitu untuk seterusnya.(*)